Saturday 28 September 2013

Mengapa Pak Amien Terus Serang Jokowi-Hatta?

Share on :

Saya adalah salah simpatisan PAN di daerah, tepatnya Jawa Timur. Sebagai founder partai dan tokoh reformasi 1998, nama Pak Amien Rais bagi kami ibarat inspirasi dalam setiap langkah politik. Namun semakin saya menyimak sikap dan manuver Pak Amien—khususnya akhir-akhir ini—saya jadi heran, kenapa Pak Amien seperti itu? Apa yang saya maksud tentu terkait kritikan tajam Pak Amien ke Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo dan kadernya sendiri, Ketua Umum PAN, Hatta Rajasa. Terbaru ke Jokowi, Amien menyatakan agar rakyat Indonesia tak salah pilih pada 2014 mendatang, dengan memilih politisi yang hanya mengandalkan popularitas. Lebih jauh, beliau menyamakan “level” Jokowi dengan Joseph Estrada, Presiden Filipina yang terpilih secara mutlak namun dijatuhkan hanya dalam waktu dua tahun. Pak Amien seakan mem-framing, kualitas Jokowi tak jauh berbeda dengan Estrada yang beliau sebut suka mabuk-mabukan dan tidak kompeten. “Jokowi lebih baik sedikit lah, tapi intinya sama, mengandalkan popularitas”, ujar Amien.
Sebelumnya, dalam dua bulan terakhir, Pak Amien sudah dan terus menyerang mantan Walikota Solo ini sebagai pribadi yang tak kompeten. Apa yang media simpulkan sebagai “prestasi Jokowi” di Solo, menurut Amien, tak lebih dari pepesan kosong. Sebagai orang yang “tahu banyak” tentang kota Solo, Amien menegasikan semua kerja Jokowi yang bahkan dianugerahi sebagai salah satu Walikota Terbaik Dunia sebagai pencitraan semata. Ia justru “membenturkan” Jokowi dengan wakilnya—FX Hadi Rudyatmo—dimana ia menegaskan FX Rudi-lah yang bekerja, bukan Jokowi! Pertanyaanya adalah, mengapa Pak Amien sibuk menyerang Jokowi akhir-akhir ini, atau jelang Pilpres 2014? Bila memang Pak Amien memiliki “catatan buruk” politisi ndeso ini, seharusnya ia sudah memberikan penyadaran ke publik saat Jokowi maju di Pilgub Jakarta tahun lalu. Hanya Pak Amien yang tahu alasannya.
Sekedar alasan atau ada agenda yang lebih besar? Yang pasti apa yang dilakukan Pak Amien terhadap Jokowi tidak hanya berdampak bagi dirinya, melainkan juga partai PAN. Secara personal, Pak Amien yang sudah “mundur” dari panggung politik nasional tidaklah terlalu terpengaruh atas manuver apapun yang ia lakukan. Tetapi bagi partai, ini jelas langkah yang kurang tepat. Suka atau tidak, Jokowi terpilih secara demokratis oleh rakyat Jakarta. Itu artinya masyarakat ibu kota merindukan sosok yang dianggap mampu menyelesaikan himpitan problem hidup mereka yang hampir menjadi “tradisi”, seperti banjir dan kemacetan. Jokowi juga tidak terpilih secara “mayoritas mutlak”, layaknya Orde Baru. Ia harus bersaing untuk menang, bahkan melalui dua putaran. Dengan “menantang arus” massa menolak Jokowi dengan alasan-alasan yang kurang kuat, itu sama dengan menurunkan citra PAN. Nantinya partai ini akan dianggap tidak paham kebutuhan rakyat dan hanya sibuk bermanuver untuk kebutuhan sesuatu yang high politics. Sementara rakyat hanya ingin hal-hal sederhana, termasuk pemimpin yang sederhana ala Jokowi.
Bila logikanya demikian, sejatinya target Pak Amien bukanlah Jokowi, melainkan Ketua Umumnya sendiri, yaitu Hatta Rajasa. Kok bisa? Begini, beberapa bulan terakhir beredar isu kuat Hatta akan berpasangan dengan Jokowi di Pilpres 2014 nanti. Kedua tokoh juga kerap bertemu, baik secara formal maupun informal. Jokowi melihat Hatta sebagai politisi yang tak suka menyerang lawan, lebih banyak bekerja dan tahu hal-hal teknis. Ini sekaligus kekurangan Jokowi yang bisa dititup Hatta. Jokowi selama ini memang belum teruji bila berbicara menyangkut fiskal, economy policy maupun menstabilkan politik tingkat tinggi. Hatta dengan jam terbangnya punya itu semua. Ia adalah katalisator membaiknya hubungan Mega dan Presiden SBY. Ia juga arsitek ekonomi nasional dengan hasil nyata, pertumbuhan di atas 6% (terbaik kedua dunia) dari 2009 hingga 2012. Di sisi lain, Jokowi mencerminkan pribadi yang sederhana, tak neko-neko dan bisa diterima publik. Klop!
Mari simak langkah Pak Amien mengenai dua tokoh di atas. Saat Hatta belum dekat dengan Jokowi, Amien berkali-kali menyatakan bahwa kadernya, yang populer dengan inisial HR adalah sosok yang tepat memimpin negeri ini ke depan. Misalnya pada 2011, dimana pak Amien menyebut Bang Hatta sebagai calon satu-satunya dari PAN. “…ada beberapa hal yang membuat saya yakin Hatta Rajasa menjadi satu-satunya capres PAN 2014”, ujar Amien (http://www.pikiran-rakyat.com/node/154381). Seiring waktu berjalan dan mulai terbukanya komunikasi PAN-PDIP dan Jokowi dengan Hatta, Amien bahkan menilai duet keduanya sangat pas dan tepat. “Jokowi-Hatta Rajasa mirip-mirip dengan Bung Karno dengan Hatta. Jadi, Bung Karno itu pemersatu bangsa, solidarity maker, sementara Bung Hatta menekuni administrasi, problem solver”, kata Pak Amien (http://news.okezone.com/read/2013/07/18/339/838653/amien-rais-ngebet-ingin-duetkan-jokowi-hatta). Kini semua seakan berbeda. Amien juga seperti tak pernah mengatakan dua hal di atas. Politik memang tak pernah peduli dengan kata-kata yang diucapkan.
Setelah menyerang Jokowi sebagai tokoh sekelas Estrada, Amien secara konsisten juga “menghabisi” kadernya sendiri, Hatta Rajasa. Bahkan “eksekusi politik” terakhir ke HR dilakukan di “rumah” sendiri, yaitu forum Rakernas PAN, Agustus 2013. Pak Amien menegasikan semua kerja keras Hatta mengawal ekonomi Indonesia dengan menyebut, ekonomi berjalan tanpa arah dan hancur-hancuran. Kok bisa ya tokoh sentral PAN menghajar anak buahnya sendiri di publik? Begitu kata seorang teman yang hadir di Rakernas itu. Ini bukan pendidikan politik yang baik bagi bangsa ke depan. Seharusnya Pak Amien sebagai tokoh bangsa, mengajari bangsa ini untuk mampu menempatkan, mana ruang publik, mana ruang organisasi. Walaupun tidak setuju, namun bila itu masuk di ranah organisasi, seharusnya bisa diselesaikan di internal organisasi. Bukan diungkapkan di pidato politik yang disiarkan live ke seluruh negeri. Dan itu terlihat di atmosfer Rakernas, dimana kader-kader PAN lebih bergemuruh kala Bang Hatta naik ke panggung dan mengajak para kadernya melakukan aksi nyata, tak sekedar wacana. Hatta cukup pede dengan pidatonya karena ekonomi di tangannya harus diakui berada pada titik cukup baik, walaupun masih ada beberapa pekerjaan rumah. Pertumbuhan ekonomi stabil dalam lima tahun, realisasi FDI juga di grafik positif dan yang terbaru, daya saing Indonesia melesat dari urutan 50 ke 38 dari 180 negara (Rilis WEF September 2013).
Dengan melihat semua rangkaian fakta-fakta di atas, kemungkinan agenda Pak Amien memang mengabisi peluang Hatta untuk maju sebagai Capres maupun Cawapres pada 2014 nanti. Untuk soal yang beginian, Pak Amien memang jagonya. Pasca 1999, Amien adalah otak di balik tergusurnya Megawati dari kursi Presiden. Dengan kendaraan Poros Tengah, Pak Amien yang sebenarnya tak terlalu nyambung dengan Amdurrahman Wahid (Gusdur), mendadak berkoalisi dan menyokong Gusdur. Sejarah mencatat, Poros Tengah menerima nama Gusdur dan mendorongnya. Pak Amien di belakang manuver tingkat tinggi ini. Namun sejatinya itu bukan keberhasilan Amien, melainkan sosok populis Gusdur yang diterima semua faksi di Poros Tengah. Belum tentu bila Pak Amien mengajukan namanya sendiri untuk menjegal Mega, skenario akan berhasil.
Belum lama mendukung Gusdur, mendadak Amien dengan “pedang” sebagai Ketua MPR mendongkel Gusdur dari krusi presiden (Juli 2001). Amien meyakinkan Poros Tengah untuk (kali ini) menyokong Mega ke kursi yang seharusnya ia dapatkan di 1999. Dan keraguan alasan pendongkelan Gusdur terkonfirmasi saat ini, dimana ia dinyatakan bersih oleh pengadilan, tidak terlibat skandal korupsi Buloggate dan Bruneigate. Pak Amien meminta maaf? Publik tak banyak mendengar itu, setidaknya hingga hari ini. Sampai tahun pemilu 2004, Pak Amien mencoba peruntungan dengan maju sebagai Capres dalam sistem pilihan langsung. Bermodal predikat sebagai “tokoh reformasi” ia berharap predikat tersebut dapat dikapitalisasi menjadi suara yang massif. Faktanya? Amien gagal lolos putaran kedua, kalah bersaing dengan Mega dan SBY. Pasca 2004 Pak Amien tak juga slow down dan mendinginkan mesin. Sebaliknya, ia terus mengecam pemerintahan SBY-JK dan kini SBY-Boediono yang ia sebut sebagai antek asing, melanggar UUD 1945 dan kapitalis. Ide-ide yang sama, seperti yang ia tudingkan ke muka Suharto di tahun 1998.
Namun zaman sudah berubah, masyarakat kian cerdas. Ide-ide bombastis seperti di atas tak lagi ditelan mentah-mentah oleh publik. Sebaliknya, mereka mencari tahu dari semua sumber—karena itu dimungkinkan di era press freedom sekarang ini. Serangan-serangan Amien ke SBY soal antek asing misalnya, dibenturkan dengan fakta-fakta renegosiasi kontrak karya yang justru menekan MNC-MNC itu. Ide melanggar UUD 1945 terutama pasal 33, dihadapkan dengan fakta makin mengkilapnya kinerja sejumlah BUMN akhir-akhir ini. Juga adanya kebijakan khusus terkait rakyat kecil dalam skema pro job, pro poor dan pro enviroment. Dalam situasi yang demikian, Amien hanya bisa meledakkan isu-isu “hot”, namun publik tak lagi melihatnya sebagai satu-satunya kebenaran. Akhirnya suara Pak Amien mengalir begitu saja, tanpa tekanan yang berarti.
Dalam lingkup PAN saat ini, apa yang ditunjukkan Pak Amien dengan menyerang Jokowi dan Hatta sendiri, merupakan potret politik yang terlepas dari frame-nya. Maksudnya, zaman sudah berubah, tantangan juga berubah. Bila di awal-awal reformasi partai harus menyerang lawan politik untuk mendapatkan dukungan rakyat, kini cara tersebut tak efektif lagi. Kemenangan Partai Demokrat dan SBY dalam satu putaran pada Pilpres 2009 di tengah kecaman dan cacian lawan politik menunjukkan bahwa rakyat menunggu kerja dan aksi nyata partai membangun bangsa, daripada sibuk menyerang satu sama lain. Itu pula yang diyakini Hatta, bahwa political behavior PAN tidak mungkin sama lagi dengan masa lalu yang selalu attacking to government. Sebagai wakil PAN di pemerintahan KIB II, tentu tidak logis bila Hatta menyerang pemerintahan yang dijalankannya sendiri. Ini pelajaran demokrasi sederhana yang kerap dikebiri oleh pihak-pihak yang mengaku penyokong demokrasi. Di negara demokrasi manapun—termasuk AS yang kita anggap paling mapan praktek demokrasinya—tidak ada ceritanya kader Demokrat (dan koalisinya) menyerang pemerintahan Presiden Barrack Obama. Kalaupun ada perbedaan pendapat, itu seharusnya diselesaikan di internal partai, dan bukan dijajakan ke publik. Nah ini yang lama absen dari politisi-politisi kita produk reformasi, dimana semua merasa paling benar sehingga tidak pernah bisa bekerjasama dan bersatu. Padahal, kebersamaan adalah modal sebuah bangsa untuk maju. Tidak ada yang lain.
Kita tunggu episode apa lagi yang akan “digarap” Pak Amien untuk Jokowi dan Hatta Rajasa.*** 

Sumber : Kompasiana

Ditulis Oleh : Unknown // 21:19
Kategori:

0 komentar:

Post a Comment

 

Artikel :

Artikel :

Artikel :