Saturday 5 September 2015

Amien Rais Sebut Indonesia Sedang Alami Kerapuhan Politik


Politisi senior Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais mengatakan, saat ini Indonesia sedang mengalami kerapuhan politik. Amien berharap bangsa Indonesia jangan sampai bernasib sama seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.

"Menjelang kebangkrutan dua negara tersebut masing-masing ekonominya mengalami kegagalan, rakyatnya hanya dikasih janji-janji, para penguasa negara secara sadar berusaha memecah belah lawan politiknya, ini hampir sama seperti di Indonesia," kata Amien Rais di kediamannya saat mengklarifikasi kepindahan PAN ke KIH di Yogyakarta, Kamis (3/9/2015).

Mantan Ketua MPR ini menjelaskan, ketika mengalami semacam kerapuhan politik, ada kesan kuat pemerintah saat ini tunduk kepada kekuatan asing. Hal tersebut terlihat dari perbankan, pertambangan, pertanian, perkebunan serta sektor ekonomi lainnya sudah didominasi oleh kekuatan asing.

"Saya usulkan agar seluruh kekuatan politik, dalam menghadapi krisis ekonomi melakukan sharing of power dan sharing of responsibility. Karena biasanya orang hanya ingin berbagi kekuasaan tetapi tidak ingin bersedia berbagi tanggung jawab," jelasnya.

Untuk itu, dirinya meminta kepada pemerintah untuk duduk bersama dengan sembilan elemen seperti Pimpinan TNI POLRI, Ketum Parpol, perwakilan pemuka agama yang ada di Indonesia, berbagai tokoh bangsa, wakil perguruan tinggi, wakil pengusaha, perwakilan pemred, wakil NGO/LSM, serta perwakilan tokoh bangsa.

"Elemen-elemen wakil bangsa ini perlu memiliki kesamaan pandangan tentang krisis yang sedang kita hadapi," tandasnya.

Dia berharap pertemuan dengan beberapa elemen itu bisa dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

"Mungkin diperlukan beberapa hari untuk mengambil sikap yang sama dan komitmen bersama menghadapi tantangan apa pun yang akan datang baik dari dalam maupun luar negri," tandasnya.

Pengamat : Jokowi Didik Rakyat Bermental Pengemis

Presiden Joko Widodo (Jokowi) belakangan ini mengulangi kebiasaannya ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta dengan melakukan blusukan. Termasuk diselipkannya kegiatan bagi-bagi sembako di sela kunjungan kerjanya tersebut kepada warga sebagaimana dia lakukan di kawasan Jakarta Utara.

Sikap yang ditunjukan Presiden Jokowi ini pun menuai kritik dari analisis politik Sidin Constitution, Pangi Syarwi Chaniago. Menurut Pangi, tradisi yang dilakukan Presiden Jokowi tidak elok jika diteruskan apalagi dipertontonkan ke publik.


“Apa yang dilakukan bapak Presiden Jokowi perlu kita kritisi dan tradisi ini tak elok diteruskan dan dipertontonkan ke publik. Sangat berbahaya kalau presiden yang langsung bagi -bagi sembako ke warga. Kalau cuma bagi-bagi sembako, siapa pun pasti bisa, tidak harus menjadi presiden saya kira,” ujarnya kepada Okezone, Sabtu (5/9/2015).

Pangi mengatakan, seharusnya Presiden Jokowi bisa memikirkan dan berbuat hal yang jauh lebih luas dan bermanfaat bagi negara untuk membahagiakan rakyatnya. Tidak dengan membagikan sembako yang justru nantinya akan menjadikan masyarakat habit.

“Bagi- bagi sembako adalah tradisi yang tak baik diteruskan dan dipertahankan. Lama- lama masyarakat akan terbiasa dan berubah menjadi 'habit' menjadi bangsa pengemis, bukan kah tangan di atas tentu jauh lebih baik dari tangan di bawah?, “ tuturnya.

Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah (UIN) Jakarta kembali menegaskan, sikap yang ditunjukkan Presiden Jokowi dengan membagikan sembako jelas merusak. Presiden Jokowi harus segera menghentikan kebiasaan tersebut karena hal tersebut sedianya bertentangan dengan nawa cita dan revolusi mental.

“Aktifitas bagi-bagi sembako di setiap kali kunjungan bapak presiden jelas merusak. Rakyat kita tidak boleh dibiasakan menjadi mental cengeng, pragmatis dan pengemis. Presiden sebaiknya menghentikan kebiasaan mempertontonkan warga berebut sembako. Ini bukan sebuah kegembiraan namun sebuah musibah yang bertentangan dengan nawa cita dan revolusi mental,” tegasnya.

Pangi menambahkan, jangan sampai muncul kesan publik bahwa kegiatan bagi-bagi sembako adalah pencitraan agar rakyat tidak marah di tengah perekonomian kian melemah saat ini. Kendati pada suatu sisi kegiatan bagi-bagi sembako menunjukkan Presiden Jokowi peduli dengan rakyatnya.

“Namun, di sisi lain kegiatan tersebut bertujuan menutupi kelemahan bapak Presiden Jokowi sebagai kepala negara,” pungkasnya.

Bertemu Donald Trump, Fadli Zon Sempat Minta Tanda Tangan dan "Selfie"

KOMPAS.com — Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengaku tak melewatkan momen pertemuannya dengan calon presiden dari Partai Republik untuk pemilu Amerika Serikat tahun 2016, Donald Trump. Dalam pertemuan itu, Fadli bahkan sempat meminta tanda tangan dan selfie bersama Trump.

"Kalau saya sambil minta tanda tangan Trump dan selfie," kata Fadli saat dihubungi wartawan, Jumat (4/9/2015).

Fadli menjelaskan, pertemuan antara dirinya dan Trump berlangsung di lantai 26 Trump Tower, Kamis (3/9/2015), sekitar pukul 13.00 waktu setempat. Dalam pertemuan itu, ia sempat makan siang bersama Trump selama 30 menit. Usai makan siang, ia menambahkan, Trump mengajak dirinya dan rombongan DPR turun ke lobi Trump Tower untuk ikut dalam kegiatan konferensi pers. Dalam kegiatan itu, Trump sempat memperkenalkan Ketua DPR Setya Novanto kepada awak media, meski dirinya telah selesai berkampanye dan turun podium.

"Karena kami sambil jalan akan pamitan, tentu sebagai sopan santun, harus menunggu tuan rumah selesai," ujarnya.

Berikut video kunjungan pimpinan DPR bertemu dengan Donald Trump:

PAN Gabung ke Pemerintah, Perkuat Megawati atau Jokowi?


KOMPAS.com — Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda menilai, merapatnya Partai Amanat Nasional ke sisi pemerintah memunculkan dua kemungkinan, apakah memperkuat Koalisi Indonesia Hebat atau Presiden Joko Widodo.

Menurut Hanta, ada kecenderungan merapatnya PAN justru akan menguntungkan KIH, terutama PDI Perjuangan sebagai partai pengusung presiden.

"PAN akan kita lihat, apakah memperkuat Bu Mega (Ketua Umum PDI-P) atau perkuat Jokowi," ujar Hanta dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (5/9/2015).

Hanta menilai, yang memiliki kendali koalisi bukan Jokowi selaku presiden, melainkan Megawati. Ketika PAN bergabung, kata dia, secara kuantitas kekuatan bertambah.

"Secara kualitas belum tentu (kuat) karena bukan Jokowi yang pegang kendali," kata dia.

Sementara itu, Sekretaris Fraksi Partai Golkar di DPR, Bambang Soesatyo, menilai, bergabungnya PAN ke pemerintah bisa saja justru menimbulkan kegaduhan. Hal tersebut diakibatkan adanya power sharing sebagai "imbalan" merapatnya dukungan PAN.

"Masuknya PAN bisa saja membuat kegaduhan karena ada kursi yang terancam. Belum-belum, PKB sudah teriak-teriak kursinya jangan diambil," kata Bambang.

Sunday 13 July 2014

Main-Main Nasib Ahli yang Mahal

Main-Main Nasib Ahli yang Mahal
Senin, 14 April 2014
Manufacturing Hope 123

Saya merasa bersalah. Salah besar. Terutama kepada anak muda yang hebat ini: Ricky Elson.

Dia sudah enak hidup di Jepang. Sekolahnya pintar dan setelah lulus pun langsung diminta untuk bekerja di perusahaan besar di sana. Gajinya bagus dan karirnya melejit. Perusahaan itu juga memberikan lapangan yang luas yang bisa dia pakai untuk berkiprah.

Ricky Elson menemukan banyak inovasi kelas dunia. Selama bekerja di Jepang, dia berhasil mematenkan 14 penemuan di lembaga paten di Jepang. Terutama di bidang motor listrik. Anak yang begitu lulus SMA di Padang itu langsung sekolah di Jepang menjadi anak emas di sana.

Kesalahan saya adalah memintanya pulang ke Indonesia. Untuk mengabdi ke bangsa sendiri. Cukuplah mengabdi 14 tahun untuk bangsa Jepang.

Di berbagai kampus universitas kita, saya memang sering mendengar teriakan mahasiswa seperti ini: mengapa tidak diusahakan memanggil pulang anak-anak bangsa yang hebat-hebat yang kini di luar negeri.

Terakhir suara seperti itu saya dengar waktu dialog dengan mahasiswa Politeknik Negeri Denpasar dan mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Purwokerto dua minggu lalu. Pertanyaan seperti itu juga disuarakan banyak kalangan di berbagai kesempatan.

Tentu saya mencoba untuk realistis. Jangan semua anak kita yang hebat dipanggil pulang. Panggillah yang benar-benar diperlukan untuk proyek mendesak yang bisa mengeluarkan bangsa ini dari kesulitan.

Saya melihat bangsa ini lagi terbelit masalah besar. Yang belum menemukan jalan keluarnya yang jelas. Yakni, persoalan ketergantungan bangsa ini pada bahan bakar minyak (BBM) impor. Kian lama impor BBM kita kian besar. Dan, akan kian besar.

Salah satu solusi yang saya lihat adalah mobil listrik. Bukan karena saya ahli mobil listrik, melainkan begitulah pendapat ahli di seluruh dunia. Kalau terlambat mengembangkannya, kita akan terantuk lubang untuk kali kedua. Mobil-mobil listrik buatan asing akan membanjiri Indonesia dalam 15 tahun ke depan.

Maka, saya merayu Ricky untuk pulang. Memang dia semula menolak. Gajinya akan turun drastis. Dia sudah menikah. Perempuan Padang juga. Dia sudah harus bertanggung jawab kepada keluarga.

Tapi, alasan penolakan terbesarnya adalah ini: apakah saya akan berarti? Apakah saya akan mendapatkan keleluasaan untuk mencipta? Apakah pemerintah Indonesia akan memberikan dukungan? Apakah proyek itu benar-benar akan bisa jalan? Dan, banyak pertanyaan yang sifatnya jauh dari urusan uang seperti itu.

Soal gaji yang akan turun, saya bisa mencarikan jalan keluar. Biarlah seluruh gaji saya sebagai menteri, dialah yang menerima. Setiap bulan. Tapi, soal jaminan kelangsungan proyek, saya sulit memberikan. Kecuali bahwa saya akan ikut all-out. Termasuk membiayai seluruh pembuatan mobil-mobil listrik prototipe.

Ricky memenuhi komitmennya. Membuat mobil listrik 100 persen made in Indonesia. Dia juga berhasil membina tenaga-tenaga ahli di Pindad agar bisa membuat bagian yang paling sulit dari mobil listrik: motor listrik.

Tapi, nasib mobil listrik kini kian tidak jelas. Aturan tentang mobil listrik tidak segera keluar. Sikap Bapak Presiden sendiri sudah sangat jelas: berikan dukungan yang maksimal untuk mobil listrik. Nyatanya, sulitnya bukan main.

Kini Ricky menganggur di Indonesia. Dia seperti harus menunggu Godot. Maka, dia mulai merasa hidup sia-sia. Dia ingin kembali ke Jepang. Dia tidak berani mengatakannya langsung kepada saya, tapi dari beberapa tulisan tentang Ricky di Kompasiana, saya bisa merasakan dukanya yang dalam.

Bahkan, salah seorang temannya di Jepang meledeknya dengan kalimat ini: sudah puaskah Anda hanya main-main di Indonesia?

Saya merasa bersalah. Saya tidak akan mampu menahannya. Terutama karena masa depannya yang tidak boleh dikorbankan.

Ricky sebenarnya sangat ideal bagi saya. Selama hampir dua tahun di Indonesia, dia kerja amat keras. Sama sekali tidak menonjolkan diri sebagai seorang ahli. Dia sangat ringan kaki. Mau terjun ke bawah dan mengurus hal yang detail.

Dia tidak segan-segan ikut angkat-angkat barang. Dia mau membina dan mengajar secara telaten dan sistematis. Misalnya, mempraktikkan dan menularkan ilmu yang dia peroleh selama di Jepang.

Saya masih berharap, kalau perjuangan mobil listrik sudah jelas, kelak akan merayunya kembali untuk pulang ke Indonesia.(***)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Minum Spirulina Mahmud dan Menunggu Sidiq

Minum Spirulina Mahmud dan Menunggu Sidiq
Senin, 21 April 2014
Manufacturing Hope 124

Dua anak muda ini gigihnya bukan main. Mahmud dan Sidiq. Mahmud baru lulus dari Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro (Undip) Semarang dan Sidiq masih kuliah di Teknik Mesin Universitas Brawijaya Malang.

Dua bulan lalu, ketika saya bermalam di satu desa di pinggir hutan di pedalaman Wonogiri, Jawa Tengah, Mahmud nguber saya sampai ke desa itu. Senja amat mendung. Hujan renyai-renyai tidak kunjung berhenti. Di suasana senja yang dingin itu, Mahmud menyusul saya ke masjid desa.

Meski langit sudah gelap, saat magrib ternyata masih lama. Mahmud membuka laptopnya. Dengan berapi-api dia mendesak saya. “Pemerintah harus turun tangan. Jangan mengabaikan penemuan saya ini,” katanya.

Saya dengarkan terus penjelasannya yang bertubi-tubi itu. Ditonton orang-orang desa yang siap-siap berjamaah Magrib. Di mata yang mendengarkan penjelasan itu, pemerintah terkesan jelek sekali. Tidak membantu dan mengakomodasi penemuan seperti ini.

“Ini sangat menguntungkan, Pak Dahlan,” ujarnya. “Ayo, BUMN bantu dengan CSR-nya,” tambah dia.

Rupanya, Mahmud baru menemukan rumus mengembangkan alga (algae) air tawar. Itulah produk yang disebut spirulina. Selama ini memang sudah banyak beredar di pasar produk spirulina. Tapi spirulina hasil dari alga air asin (air laut).

Produk ini terkenal terutama karena agresifnya sistem pemasaran multilevel marketing (MLM). Mahal tapi laris. Khasiat spirulina yang tinggi membuat impor spirulina luar biasa besarnya.

“Saya berhasil mengembangkan algae air tawar,” katanya. “Dengan demikian, spirulina dari algae yang saya kembangkan ini bebas logam berat, arsen, dan tidak bau amis,” tambahnya. “Ini pertama di Indonesia,” kata Mahmud bersemangat.

Di dalam masjid di desa pinggir hutan itu, sambil menunggu datangnya magrib, Mahmud saya ajak hitung-hitungan. Saya cecar dia dengan pertanyaan-pertanyaan: harga benih, modal bikin kolam, harga jual, tingkat persaingan, risiko gagal, dan seterusnya.

Mahmud bisa menjawab dengan tangkas. Akhirnya saya berkesimpulan: penemuan ini memang sangat baik. Juga sangat menguntungkan. Satu hektare sawah bisa menghasilkan Rp 300 juta. Bandingkan dengan tanam padi yang menghasilkan sekitar Rp 50 juta.

“Kalau begitu, berhentilah Anda menyalah-nyalahkan pemerintah,” kata saya. “Berhentilah berpikir ngemis-ngemis cari bantuan,” kata saya lagi.

“Ini bisnis yang bagus. Lakukan sendiri. Jangan cengeng. Kalau Anda minta pemerintah ikut campur, bisa-bisa tambah ruwet,” tegas saya.

Alhamdulillah. Mahmud bisa menerima penjelasan saya. Dia tidak akan menyalah-nyalahkan orang. Juga tidak akan mengemis-ngemis. Dia akan terjun ke bisnis dengan basis penemuannya itu. “Go!” kata saya dengan bangga kepada anak muda ini. Saya pun berjanji mengunjunginya kalau dia sudah menjalankan bisnisnya itu.

Minggu lalu saya memenuhi janji itu. Saya ke desanya, Tawangsari, Sukoharjo, di selatan Solo. Tanpa memberi tahu lebih dulu. Matahari bersinar terik. Saya lewati pabrik tekstil terkenal itu: Sritex. Masih terus ke selatan.

Desa ini bukan desa miskin. Rumah-rumahnya bagus. Tidak sulit mencari rumahnya. Bapaknya ternyata orang terkenal: politikus PAN yang sedang nyaleg. Juga tergolong kaya untuk ukuran desa itu. Saya lega. Mahmud pasti punya modal untuk mengembangkan alga air tawarnya.

Ternyata benar. Mahmud sudah punya tiga kolam kecil. Bahkan sudah berhasil panen alga air tawar beberapa kali. Alga ini memang bisa dipanen tiap empat hari. Alga itu dia saring, dia keringkan, dan dia bikin tepung. Dengan alat-alat sederhana. Lalu dia masukkan ke saset-saset. Siap dijual. Bersaing dengan spirulina impor.

Saya sangat gembira. Mahmud benar-benar anak muda yang gigih. Saya membeli sepuluh saset hari itu. Salah satunya saya buka, saya buang labelnya, saya masukkan plastik tanpa identitas.

Sampai Jakarta, “tepung tanpa identitas” itu saya kirim ke laboratorium Kimia Farma untuk diteliti. Saya tidak memberi tahu asal usul dan nama tepung itu.

Hasil uji lab itu mengatakan bahwa tepung tersebut adalah spirulina, namun tidak mengandung logam berat, arsen, dan NACL. Juga tidak ada kandungan bahan kimia. Sejak itu saya minum spirulina made in Sukoharjo tersebut. Tiap hari.

Mahmud juga sudah mendirikan perusahaan. Namanya CV Neoalgae Technology. Sebagai lulusan Teknik Kimia Undip, dia tidak sulit melakukan penelitian-penelitian untuk membiakkan alga itu.

Kini Mahmud akan memperbesar kolam-kolam alganya. Tidak lagi hanya tiga kolam di sebelah rumahnya. Dia sudah mulai mengerjakan sawah 1 hektare agak jauh dari rumahnya untuk diubah jadi kolam alga air tawar.

“Saya kewalahan. Pesanan spirulina melebihi produksi saya,” ujarnya. “Terutama dari perusahaan-perusahaan obat herbal,” tambahnya.

Tentu saya berdoa agar Mahmud jadi pengusaha muda yang sukses besar. Dia layak untuk itu. Kita berharap Indonesia tidak perlu lagi impor spirulina. Mahmud juga tidak keberatan ada anak muda lain yang mengikuti jejaknya.

Lain lagi dengan Sidiq. Dia menemukan alat pengering gabah. Mengandalkan tenaga surya. Mirip dengan yang ditemukan mahasiswa Universitas Mataram di Lombok.

Waktu itu saya sedang nonton wayang di desa Campurdarat, Tulungagung, Jawa Timur. Tiba-tiba Sidiq nongol. Jam sudah menunjukkan pukul 00.00. Dia datang dari Malang. Naik sepeda motor. Dua jam lamanya.

Di malam yang kelam. Melewati jalan yang berliku naik turun di sekitar Bendungan Karangkates. Nekat benar anak ini.

Malam itu deal! Saya berikan dana untuk membuat prototipenya. Dua bulan lagi barang itu akan jadi.

Sidiq sangat amanah. Di waktu yang dijanjikan, dia selesaikan proyek itu. Jumat kemarin saya lihat hasilnya. Bisa berfungsi. Namun, suhunya kurang panas. Dia masih menggunakan kaca biasa. Bukan kaca khusus yang bisa menghasilkan panas 20 derajat lebih tinggi.

Tapi, itu soal sepele. Yang jelas fungsinya sudah ketemu. Saya minta alat ini disempurnakan. Di bawah binaan BUMN PT Pertani. Siapa tahu bisa menggantikan mesin pengering yang mahal-mahal dengan bahan bakar yang juga mahal itu.

Mahmud, Sidiq, dan banyak lagi anak muda yang tidak kenal menyerah. Harapan besar di depan mata. Saya akan terus minum spirulina-nya Mahmud. Dan menunggu pengering gabahnya Sidiq. (*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Kemandirian Cuci Darah dan Infus dari Madura

Kemandirian Cuci Darah dan Infus dari Madura
Senin, 28 April 2014
Manufacturing Hope 125

Kemandirian bangsa juga segera terwujud di bidang ini: garam kesehatan dan garam minuman. Selama ini kebutuhan garam untuk kesehatan 100 persen harus diimpor. Ini baru saya ketahui ketika awal-awal menjabat menteri BUMN. Waktu itu saya bertanya kepada direksi PT Kimia Farma, obat apa saja yang kita belum bisa buat.

Jawabnya ternyata: semua belum bisa bikin. Bahan baku obat kita semuanya masih harus diimpor. Memang beberapa obat sudah dibuat di dalam negeri, termasuk obat lamivudin untuk HIV, tapi bahan bakunya impor. Demikian juga obat-obat generik, semuanya menggunakan bahan baku dari luar negeri.

Dengan semangat kebangkitan industri dalam negeri, saya minta direksi Kimia Farma menyusun daftar obat apa saja yang mungkin akan bisa kita buat bahan bakunya. Saya minta dimulai dari yang paling mudah.

Ternyata, ada 12 obat yang mungkin bisa kita buat sendiri. Asal ahli-ahli dari perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset bekerja sama dengan BUMN. Dari 12 jenis obat itu, ada yang bisa diwujudkan dalam satu tahun, tapi ada juga yang baru akan terwujud dalam tiga atau empat tahun. Tidak mengapa. Yang penting masing-masing ada road map untuk mewujudkannya.

Maka, mulailah kita buat road map untuk yang paling mudah mewujudkannya: garam kesehatan dan garam minuman. Kita punya garam. Teknologi untuk mengubah garam biasa menjadi garam kesehatan dan garam minuman juga tidak terlalu rumit.

Bahkan, ternyata anak-anak bangsa sendiri sudah berhasil menemukan caranya. Mereka adalah ahli-ahli yang masih muda (waktu itu) dari BPPT: Imam Paryanto, Bambang Marwoto, Bambang Sriyanto, dan Wahono sebagai koordinator.

Mereka melakukan penelitian di pusat garam Madura. Bekerja sama dengan PT Garam (Persero). Mereka saya sebut “masih muda” (waktu itu) karena penelitian itu dilakukan 16 tahun yang lalu. Hasilnya langsung mereka patenkan atas nama BPPT.

Berdasar informasi tersebut, kami mengundang pimpinan BPPT untuk membicarakannya. Bolehkah penemuan anak bangsa itu diimplementasikan? “Itu yang sudah lama kami tunggu-tunggu,” ujar Dr Listyani Wijayanti, deputi kepala BPPT yang memimpin tim BPPT ke BUMN.

Ketika mengucapkan kata “sudah lamaaaaa”, terasa bunyi huruf “a”-nya mungkin lebih dari 25 buah.

Mengapa selama ini hasil penelitian itu tidak diwujudkan agar kita tidak perlu impor garam farmasi?” Tidak ada yang membuat keputusan,” ujar Dr Listyani yang alumnus Saitama University Jepang. “Sudah dua buku laporan yang kami terbitkan, tapi ya hanya sampai buku itu,” tambahnya.

Hari itu rapat lantas tidak hanya membicarakan penemuan garam farmasi dan minuman. Tapi melebar ke penemuan apa lagi yang sudah dihasilkan BPPT dan akan dihasilkan lembaga tersebut. Dari situlah kami sepakati ada 12 penemuan bahan baku obat yang akan bisa diproduksi di dalam negeri.

Khusus untuk garam farmasi, waktu itu kami sepakati harus terwujud paling lambat akhir 2014. Tahun ini. Dirut Kimia Farma Rusdi Rosman menyanggupi. Juga menganggarkan investasi Rp 25 miliar pada 2014. Kimia Farma sangat mampu menyediakannya.

Rasanya target itu akan terpenuhi. Kalaupun meleset hanya dua-tiga bulan. Apalagi, hasil riset BPPT itu memang sudah sangat detail. Badan POM sudah langsung memprosesnya dan mengizinkannya.

Selasa lalu penandatanganan kerja sama dua BUMN dilakukan di depan saya. PT Kimia Farma dan PT Garam. Maka, Kimia Farma segera membangun pabrik bahan baku garam kesehatan itu.

Pabrik tersebut akan dibangun di Watudakon, Mojokerto, Jawa Timur. Di sebelah pabrik yodium milik Kimia Farma. Di situ memang ada sumber yodium. Pembangunan pabrik garam farmasi dan garam minuman ini bisa cepat karena tanahnya sudah siap, sudah matang, uangnya sudah siap, dan pabriknya sederhana.

Kalau toh tidak bisa tepat akhir tahun ini, paling lambat awal tahun depan. Kita segera mandiri untuk bahan baku garam farmasi dan minuman. Kita bisa stop impor 100 persen. “Bahkan, kami merencanakan ekspor,” ujar Rusdi.

Pabrik itu tahap pertamanya akan berkapasitas 3.000 ton, tapi dengan mudah bisa ditingkatkan menjadi 6.000 ton. Garam farmasi ini paling banyak untuk cairan infus, oralit, dialisat (cairan untuk cuci darah bagi pasien gagal ginjal), dan banyak lagi. Demikian juga untuk membuat sabun dan sampo, memerlukan garam farmasi. Betapa luasnya kegunaannya. Kedelai edamame yang jadi makanan pembuka di restoran Jepang juga menggunakan garam farmasi.

Pabrik infus dari Jepang seperti Otsuka sudah berminat membeli produksi Kimia Farma. Demikian juga pabrik-pabrik minuman seperti Pocari Sweat dan Coca-Cola.

Tahun depan, kalau Anda lagi diinfus, jangan terus mengira bahan bakunya masih impor. Itu sudah dari Madura. Tapi, lebih baik kalau Anda tetap sehat dan tidak memerlukan infus sama sekali. (*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Patriotisme BRIsat di Orbit Luar Angkasa

Patriotisme BRIsat di Orbit Luar Angkasa
Senin, 05 Mei 2014
Manufacturing Hope 126

Dari Tual terbang ke Bali. Dulu jual sekarang beli. Itulah pantun yang tiba-tiba diucapkan seorang tokoh saat berada di dalam lift kantor pusat Bank Rakyat Indonesia (BRI).

Hari itu Direktur Utama BRI Sofyan Basyir menandatangani kontrak pembelian satelit dari perusahaan Amerika Serikat (AS) Space System/Loral, LLC. Satelit tersebut akan diluncurkan perusahaan Prancis Arianespace.

Presiden SBY hadir di acara itu meski tidak memberikan pidato sambutan. Saya dan Menkominfo Tifatul Sembiring mendampingi beliau. Banyak pertanyaan wartawan setelah itu. Perlukah BRI beli satelit sendiri? Mengapa dilakukan sekarang ketika mau pilpres?

Saya sudah biasa menerima pertanyaan yang menyelidik seperti itu. Jadi, jawabannya pun sudah di luar kepala.

Yang paling tahu perlu beli satelit sendiri atau tidak tentu manajemen BRI sendiri. “Kalau Indonesia itu seperti Tiongkok atau India, memang tidak perlu,” jawab Sofyan Basyir. Dua negara tersebut berupa daratan (mainland). Komunikasinya bisa lewat kabel.

Tapi, Indonesia ini berpulau-pulau, jarak dari barat sampai ke timurnya 5.200 km. Jaringan BRI menyebar ke seluruh pelosok dan ke seluruh pulau. “Kalau BRI sudah puas seperti ini, juga tidak perlu satelit,” tambahnya.

Meski sudah menjadi bank yang sangat besar, BRI harus terus berkembang. Besar untuk ukuran Indonesia belum besar untuk ukuran dunia. BRI sudah menjadi micro banking terbesar di dunia. Sistemnya harus benar-benar kuat. Sistem teknologi informasinya harus benar-benar modern.

Masih ada lagi. “Kalau harga satelit itu mahal, juga tidak perlu,” kata Sofyan. Bagi BRI, dengan laba tahun lalu Rp 21,5 triliun, pengadaan satelit ini berada dalam jangkauan kemampuannya. Apalagi, pengeluaran rutin untuk komunikasinya sudah mencapai Rp 500 miliar setahun.

“Kalau punya satelit sendiri, pengeluaran itu bisa turun menjadi kurang dari Rp 250 miliar setahun. Ada penghematan Rp 250 miliar setahun,” ujar Sofyan.

Saya memang menyetujui langkah besar BRI ini. Dengan demikian, BRI bisa memberikan pelayanan lebih baik. Bahkan bisa leluasa membuka jaringan di pulau sejauh apa pun dan seterpencil apa pun. Pulau-pulau yang jauh itu tidak lagi jauh secara sistem. Semuanya bisa dikontrol secara tersentral dan real time.

Tapi, mengapa dilakukan sekarang, ketika dekat pilpres? Pertanyaan ini sama sekali tidak relevan. Sebuah korporasi harus tetap bergerak di saat apa pun. Sebelum pilpres atau sesudah pilpres. Korporasi bukan institusi politik dengan siklus politiknya.

Bila kita melakukan sesuatu di hari Senin, akan ditanya mengapa tidak Selasa. Dilakukan Selasa pun, pasti akan ditanya mengapa tidak Rabu! Tidak akan ada habis-habisnya.

Saya ingin terus mendorong BRI maju. Mumpung momentumnya tepat. Kadang momentum muncul hanya sekali. Kalau tidak dimanfaatkan bisa lewat begitu saja. Apalagi, pembelian satelit oleh BRI ini mengandung unsur patriotisme dan kebanggaan nasional yang tinggi. Ini bukan pidato tentang patriotisme. Ini langkah nyata.

Kavling orbit satelit ini dulunya milik Indonesia. Jelasnya milik Indosat. Namun, ketika Indosat dijual pada 2002, satelit tersebut ikut terjual. Kavling satelit itulah yang kini “direbut” kembali oleh BRI.

Tidak gampang. Sulit. Sangat sulit. Saya bersyukur usaha yang ruwet itu akhirnya berhasil.

BRI (dan kita semua) sangat berterima kasih kepada Menkominfo Tifatul Sembiring. Beliaulah yang berada di depan untuk berjuang mendapatkan kembali kavling satelit itu. Tentu juga mendapat dukungan penuh Bapak Presiden SBY. Perjuangan satelit ini tidak kalah heroiknya dibanding perjuangan mendapatkan Inalum tahun lalu.

Seandainya perjuangan “merebut” kembali kavling satelit ini tidak sulit, tidak perlu memakan waktu. Pembelian satelit itu pun sudah bisa dilakukan tahun lalu. Bukan menjelang pilpres begini.

Satelit itu nanti diberi nama BRIsat. Akan diluncurkan dari pulau kecil Guyana di pesisir Karibia, Amerika Selatan. Satelitnya sendiri dibuat di AS. Lalu diangkut ke Prancis. Dari Prancis dinaikkan kapal feri ke Guyana, memakan waktu lebih satu bulan. Bergantung cuaca dan gelombang laut.

Setelah diluncurkan dari Guyana, hanya dalam waktu 29 menit BRIsat sudah berada di ketinggian 35.000 km. Dari luar angkasa sana BRIsat bisa meng-cover wilayah seluruh Indonesia, Asia Tenggara, sampai Australia Barat.

Lokasi BRIsat adalah orbit terbaik. Orbit ini mestinya hanya bisa diisi 360 satelit. Karena mereka harus dideretkan di tiap derajat dari 360 derajat keliling bumi. Orbit ini jadi rebutan semua negara.

Saking banyaknya negara yang mengincarnya, sampai-sampai kompromi harus dilakukan. Lokasi yang mestinya diisi 360 satelit itu kini sudah diisi lebih dari 900 satelit! Alangkah padatnya. Alangkah berjejalnya. Betapa penuhnya orbit itu. Satelit dari seluruh dunia. Itulah sebabnya apa yang dilakukan BRI ini sungguh heroik! Terlambat sedikit, lokasi tersebut bisa jatuh ke negara lain.

Dengan langkah ini pula BRI bisa menarik pulang ahli-ahli satelit kita yang selama ini bekerja di luar negeri. Anak-anak bangsa itu dulunya disekolahkan Pak Habibie ke luar negeri. Lalu tidak pulang karena kondisi ekonomi kita yang terpuruk.

Salah satu di antara mereka adalah Dr Ir Meiditomo Sutyarjoko MSEE. Dia benar-benar ahli satelit yang dipercaya dunia maju. Suatu hari, dua tahun lalu, Meiditomo liburan ke Jakarta. Dia memperkenalkan diri kepada saya. Meiditomo mengatakan, suatu saat nanti Indonesia harus bisa meluncurkan satelitnya sendiri. Dia merasa mampu.

Meiditomo (adik kandung ahli nuklir kita Yudiutomo Imardjoko, Dirut PT Batantek) juga sudah melakukan studi tentang pantai mana di Indonesia ini yang terbaik untuk tempat peluncuran satelit. Lokasi itu, kata Meiditomo, “terbaik di dunia”.

Dia lantas menyebutkan nama lokasi yang ternyata sudah pernah saya kunjungi. “Lurus langsung menuju orbit,” katanya. Kita punya lokasi peluncuran satelit yang posisinya terbaik di dunia!

Kini ada satu tim ahli satelit bangsa sendiri yang pulang ke Indonesia. Mereka menjadi pegawai BRI. BRIsat memang akan dikelola BRI sendiri. Bukan dikelola, misalnya, anak perusahaan.

“Kami ingin satelit ini tidak pernah dijual,” tegas Sofyan. “Kalau dimiliki anak perusahaan, bisa-bisa nanti ujung-ujungnya dijual,” tambahnya.

Saya dukung sepenuh-penuhnya.(*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Dari Mitsui Menjadi Milik Anak Negeri

Dari Mitsui Menjadi Milik Anak Negeri
Senin, 12 Mei 2014
Manufacturing Hope 127

Satu lagi perusahaan BUMN yang membeli perusahaan asing. Mulai 1 April lalu PT Kaltim Pasifik Alkalinitas, perusahaan amoniak terbesar di Indonesia yang selama ini dimiliki Mitsui dan Tomen Jepang, sudah 100 persen menjadi milik Indonesia!

Perusahaan tersebut berlokasi di Bontang, Kalimantan Timur. Berada satu kompleks dengan PT Pupuk Kaltim, anak perusahaan PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC). Amoniak ini sangat penting untuk memperkuat pabrik pupuk kita. Selama ini kita membeli amoniak dari pabriknya Mitsui itu.

Pupuk Kaltim sendiri kini membangun pabrik baru di Bontang. Itulah pabrik ke-5 dengan kapasitas 1,2 juta ton per tahun. Akhir tahun ini pabrik baru tersebut sudah berproduksi.

Bersamaan dengan itu pabrik pertama yang dibangun pada 1974 dimatikan. Pabrik ini sudah sangat tua. Kapasitasnya juga hanya 660.000 ton. Dan, lagi sangat boros. Untuk memproduksi 1 ton urea diperlukan gas 35 mmbtu. Padahal, di pabrik baru nanti, 1 ton pupuk cukup menggunakan gas 23 mmbtu.

Saat ini di PT Pupuk Sriwijaya Palembang juga dibangun pabrik baru. PT Pupuk Kujang juga siap-siap berekspansi. Demikian juga PT Petrokimia Gresik. Dengan ekspansi anak-anak perusahaan itu, tiga tahun lagi PIHC sudah menjadi pabrik pupuk terbesar ke-5 di dunia.

Ini sekaligus menjadi bukti bahwa dengan disatukan dalam satu holding sebuah BUMN mengalami perkembangan yang pesat. Anak-anak perusahaan PT PIHC yang dulu BUMN bisa bersaksi bahwa mereka terus mengalami kemajuan. Aset mereka saat disatukan dulu sebesar Rp 34 triliun. Kini, hanya dua tahun kemudian, sudah menjadi Rp 62 triliun!

Saat ini tinggal satu pabrik pupuk yang masih sulit berkembang: PT Pupuk Iskandar Muda di Aceh. Padahal, itulah satu-satunya industri besar yang ada di Aceh. Karena itu, saya menugasi PIHC untuk mencari jalan keluar agar pabrik pupuk Iskandar Muda jangan sampai tutup. Jangan sampai menyusul tetangganya di situ: PT ASEAN Aceh Fertilizer yang tutup lebih dari 10 tahun yang lalu.

Persoalannya memang berat: tidak ada lagi kecukupan gas di sana. Sudah habis. Sudah 30 tahun lebih gas dikirim ke Jepang dalam bentuk LNG. Bagaimana caranya agar Iskandar Muda tetap bertahan? Bahkan dikembangkan?

Saya minta Arifin Tasrif, Dirut PIHC, melakukan studi pembangunan pipa gas dari Riau ke Medan. Mengapa? Saat ini Pertagas (anak perusahaan Pertamina) membangun pipa gas dari Medan ke Lhokseumawe. Sejauh 330 km. Hampir selesai.

Di pihak lain saat ini sudah ada pipa gas dari Riau ke Sumsel dan Jawa. Tinggal Riau-Medan yang belum nyambung. Jaraknya sejauh kira-kira 500 km.

Kalau pipa gas Riau-Medan bisa dibangun, infrastruktur gas kita sangat kuat. Iskandar Muda juga bisa mendapat gas murah dari selatan. Perbedaan harga gas di Sumsel dan Aceh sudah mencukupi untuk membangun pipa gas tersebut.

Pipa tersebut juga akan terus nyambung ke Jawa Timur. Sekarang ini juga ada kesepakatan baru bahwa pemasangan pipa Cirebon-Semarang segera dimulai. PT Rekayasa Industri, anak perusahaan PIHC yang lain, sudah setuju bekerja sama dengan PGN untuk segera memulai pembangunannya. Akhir bulan ini.

Kalau ini berhasil, infrastruktur gas kita sudah sangat kuat. Apalagi, sebentar lagi LNG Arun sudah berhasil diubah menjadi receiving LNG terminal. Stasiun penerima LNG terapung di utara Jakarta juga sudah beberapa bulan beroperasi. Stasiun yang sama di Lampung, yang dibangun PGN, juga hampir jadi.

Memang, besarnya kapasitas pabrik pupuk kita belum otomatis menyelesaikan masalah di lapangan. Seperti sekarang ini: beberapa daerah melapor kekurangan pupuk. Bisa dipastikan yang kurang itu adalah pupuk bersubsidi.

Rupanya ada masalah saat menentukan besarnya pupuk bersubsidi. Waktu itu pemerintah dan DPR menyepakati jumlah pupuk bersubsidi 7,8 juta ton. Ternyata ini tidak cukup. Kebutuhan pupuk bersubsidi mencapai 9,2 juta ton.

Jadi, pupuknya sendiri ada. Tersedia. Banyak. Barang itu juga sudah siap di gudang-gudang di setiap daerah. Masalahnya pupuk itu tidak boleh disalurkan. Sebelum angka tersebut diperbarui. Kementerian Pertanian harus bertemu DPR dulu. Begitu keputusan itu dibuat, pupuk bisa langsung disalurkan.

Bagi PIHC, membeli pabrik milik Jepang barulah langkah awal. Masih begitu banyak rencana nyata ke depan.(***)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Mesin Harapan Petani Made in Mlilir

Mesin Harapan Petani Made in Mlilir
Senin, 19 Mei 2014
Manufacturing Hope 128

Saya sampai harus belajar dari buaya. Itu kata Agus Zamroni, pengusaha kecil dari Desa Mlilir, Ponorogo. Dia seorang sarjana hukum. Bukan sarjana teknik. Juga bukan sarjana pertanian. Tapi, kegigihannya menciptakan mesin pemanen padi tidak ada duanya.

Sebagai orang desa, Agus hidup dari pertanian. Khususnya padi. Sebagai petani besar, Agus merasakan sulitnya mencari tenaga untuk panen. Kian tahun kian sangat sulitnya. Kesulitan yang sama sebenarnya juga dialami petani tebu: kian sulit cari tenaga penebang tebu.

Sebagai generasi muda, Agus terus mempelajari mesin-mesin panen buatan Jepang dan Tiongkok. “Masak bikin begini saja tidak bisa,” pikirnya.

Agus terus mencoba dan mencoba. Saya menyemangatinya dengan iming-iming bahwa mesinnya itu, kalau sudah jadi, akan dibeli BUMN. Saya yakin dia sangat serius. Usaha taninya serius.

Usahanya sebagai penyalur pupuk juga serius. Orang yang sudah membuktikan bisa serius dalam menangani satu bidang juga akan serius di bidang berikutnya. Karena itu, saya percaya dia tidak main-main.

Dan ternyata benar. Agus berhasil. Lahirlah mesin panen generasi pertama. Dia beri merek Zaaga (diambil dari namanya).

Mesin itu benar-benar bisa digunakan. Tentu masih banyak kekurangan. Masih banyak gabah yang berceceran di luar karung penampung.

Tapi, Agus tidak menyerah. Penyempurnaan terus dilakukan. Saya terus menjanjikan bahwa BUMN akan membeli hasilnya. Lahirlah generasi kedua. Sudah bisa dibilang sangat baik. BUMN membelinya. Dihadiahkan kepada kelompok tani.

Hasilnya bagus. Banyak yang tertarik. Agus sendiri kian percaya diri. Agus berani mengundang saya untuk melihat penggunaan mesin Zaaga generasi kedua itu.

Maka, pada musim panen yang lalu saya memenuhi permintaannya untuk pergi ke Mlilir. Saya berdebar-debar. Ngeri-ngeri sedap, istilah politisinya. Benarkah mesin panen ciptaan anak bangsa itu bisa berfungsi di lapangan.

Ternyata benar-benar berhasil!

Tentu saya sangat senang. Kelompok-kelompok tani juga mulai percaya. Mesin itu terjual laris. Sehari Agus bisa memproduksi dua unit. Luar biasa. Pabriknya yang berada di Mlilir menjadi sangat sibuk.

Sampailah pada suatu pagi yang mengagetkan Agus kedatangan tamu yang membawa beking. Tamu itu marah-marah berat. Agus akan dihajar. Agus dianggap menipu. Mesin panen itu, katanya, tidak bisa digunakan.

Setelah terjadi dialog, diketahuilah bahwa panen itu dilakukan di sawah yang berlumpur dalam. Mesinnya tidak bisa jalan. Rodanya ambles.

Agus merasa kiamat. Setiap menceritakan itu, Agus berlinang air mata. Dia merasa terpukul. Dia sanggupi mengganti uang sang tamu.

Tapi, kegalauannya bukan di soal ganti rugi. Melainkan di kegagalannya itu sendiri. Saat berlinang air mata itulah pikirannya tiba-tiba melayang ke buaya. Kok tangan buaya tidak tenggelam saat merayap di medan berlumpur.

Agus lantas pergi ke berbagai tempat yang ada buayanya. Dia amati. Sebagai orang yang bukan berlatar teknik mesin (tapi dia pernah kursus teknik di bengkel Mercedes-Benz), Agus mendapat ide dari buaya itu.

Maka, dia rancang roda yang berbeda. Yang jarak antargigi lebih lebar. Berhasil. Inilah mesin panen generasi ketiga made in Mlilir.

Minggu lalu saya pergi ke sana lagi. Melihat pabriknya. Juga melihat roda untuk Zaaga generasi baru itu. Teknologi panen sudah bisa dikuasai anak negeri sendiri. Tentu saya juga berharap produsen lainnya, seperti Futata, terus mengembangkan diri.

Saya masih titip satu misi lagi untuk Agus: ciptakan mesin tanam padi. Pesan yang sama juga saya sampaikan saat berdialog dengan mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang Sabtu lalu.

“Siapa yang berkeinginan menciptakan mesin tanam?” tanya saya di depan sekitar seribu mahasiswa.

Mesin tanam sangat penting karena saat ini mencari buruh tanam juga amat sulit. Jadwal tanam bisa mundur sampai satu minggu gara-gara belum mendapat buruh tanam. Itu sangat mengganggu produksi beras.

Lima mahasiswa angkat tangan. Cukup banyak. Satu per satu saya minta untuk menceritakan gagasan masing-masing.

Seorang mahasiswi menceritakannya sambil menahan tangis. “Saya sangat ingin menciptakannya demi bapak saya,” katanya.

“Bapak saya tiap hari dihina nenek saya karena bapak saya hanya bisa bertani,” katanya. Air matanya tak terbendung lagi. Satu ruangan besar ikut terharu.

Tentu mereka akan bisa. Agus yang pendidikan dasarnya madrasah ibtidaiyah dan pendidikan tingginya di Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun saja bisa. Asal mau, kita bisa! (*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

 

Artikel :

Artikel :

Artikel :