Wednesday 23 October 2013

Dahlan Iskan yang Tidak Saya Kenal

Share on :

Dahlan Iskan yang Tidak Saya Kenal

CATATAN: CAROLUS TUAH

SUNGGUH saya memang tidak kenal, dan tidak pernah bertemu seorang Dahlan (Iskan). Dalam ingatan saya, Dahlan adalah seorang “konglomerat” media, wartawan, direktur PLN, dan menteri. Di harian Kaltim Post, saya sering melihat tulisan Dahlan. Melihat, tapi jarang membaca. Saya lebih suka menyimak ucapan Dahlan di televisi. Lugas, tidak berbasa-basi, juga cengengesan.

Saya bukan pendukung, apalagi pengagum Dahlan. Tak pula satu buku tentang Dahlan yang saya baca. Informasi dan pemberitaan tentang Dahlan sudah sangat berlimpah, entah melalui media massa hingga media sosial. Saya merasa tidak perlu untuk mendalami informasi tentang Dahlan.

Anehnya, saya malah sering tergoda untuk melirik informasi, atau lebih tepatnya gosip, tentang Dahlan. Dari soal dugaan pemborosan PLN, memiliki banyak istri, hingga reputasi “kejam” ketika menjadi bos Jawa Pos.

Dan, saya merasa perlu untuk menerangkan kenapa harus menulis tentang Dahlan: ditantang oleh Felanans Mustari, seorang jurnalis muda Kaltim Post yang cerdas. Dia mengejek saya. Ketimbang sinis terhadap sikap politik Dahlan, kenapa tidak menulis secara terbuka? Sambil menahan malu, saya memutuskan untuk membuat tulisan singkat di depan wartawan ini.

Karena tidak kenal, tentu saja saya tidak peduli terhadap Dahlan. Rasa abai terusik ketika mendengar Dahlan berhasrat menjadi presiden! Sebagai warga negara Indonesia yang berdomisili di provinsi kaya sumber energi, saya merasa harus memastikan pemimpin negeri ini tak mengulang ketidakadilan terhadap warga Kaltim.

Pertanyaannya, apa yang ada di kepala Dahlan? Apa yang membuat dia merasa pantas menjadi presiden? Apakah jabatan menteri tidak cukup? Apakah haus kekuasaan? Atau Dahlan adalah bagian dari kumpulan orang sakit jiwa yang bermimpi menjadi presiden?

Menjadi presiden tidak mudah dan tidak murah, meski Dahlan banyak duit. Dahlan bukan seorang politikus, bukan kader partai. Di berbagai survei, Dahlan (masih) kalah populer dengan orang lain yang disebut sebagai calon presiden.

Sebagai orang yang bergiat di organisasi nonpemerintah, tentu saja saya mengamati perilaku pejabat-politikus berikut produk politiknya. Sukar bagi saya untuk tidak membandingkan gaya kepemimpinan dan gaya hidup-penampilan mereka.

Di Kaltim, nyaris semua pejabat publik identik dengan kemewahan yang dibiayai APBD. Dalam konteks ini, Dahlan yang tampil sederhana adalah contoh buruk bagi mereka yang gemar tampil rapi, protokoler, berselubung baju dinas, bahkan menggunakan pakaian ala Eropa.

Pejabat yang berjalan diiringi oleh satu atau dua orang ajudan adalah pemandangan biasa. Seketika saya teringat, saya tidak pernah melihat di layar kaca seorang Dahlan memiliki ajudan yang menenteng tas atau membawa barang lainnya. Atau; bahkan melakukan pekerjaan remeh seperti membukakan pintu mobil. Tidak pernah.

Saya kesulitan untuk menjawab pertanyaan Felanans, apakah tidak ada hal yang bisa dipuji dari Dahlan? Seketika dia memperlihatkan berita tentang ulah Dahlan yang memecat seorang direktur utama BUMN karena istri sang dirut kerap menggunakan fasilitas kantor milik suami. Tetap saja saya berpikir, hal tersebut adalah standar etika yang berlaku bagi pejabat BUMN. Tidak ada yang istimewa.

Sinisme saya lantas sedikit pudar karena teringat peristiwa itu tidak terjadi di kementerian lain. Apalagi di Kalimantan Timur!

Saya “diserang” lagi dengan pertanyaan yang sudah saya duga, apakah saya akan mendukung Dahlan menjadi presiden? Masih dengan sinisme yang sama, saya mencemooh pilihan Dahlan yang kebelet menjadi RI 1 melalui partai politik, yang banyak kadernya tersangkut kasus korupsi. Tapi saya hampir lupa, satu-satunya cara menjadi presiden adalah melalui partai politik.

Felanans kemudian menyentak saya dengan pernyataan agar saya berpikir positif. Bahwa bisa jadi Dahlan akan menjadi tukang reparasi, memperbaiki partai, membuat partai politik menjadi institusi yang kredibel dan dipercaya publik.

Akhirnya, saya menjanjikan beberapa hal. Pertama, saya akan mencoba mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang Dahlan. Kedua, jika saya memiliki kesempatan bertemu langsung dengan Dahlan, saya akan menyerang dia dengan banyak pertanyaan mengenai apa yang ingin dia lakukan. Ketiga, saya tidak akan bergabung dengan relawan, tim sukses, dan barisan pendukung Dahlan. Tetapi yang keempat, mungkin saya akan memilih Dahlan. Bukan untuk menyenangkan hati Felanans dan para pendukung Dahlan, tapi jika saya telah menemukan sendiri bahwa Dahlan bukan pembohong.

*Penulis adalah penggiat antikorupsi di Kaltim dan bergabung di Pokja 30.

Ditulis Oleh : Unknown // 23:48
Kategori:

1 komentar:

 

Artikel :

Artikel :

Artikel :