Saya adalah salah simpatisan PAN di daerah, tepatnya Jawa Timur. Sebagai founder
partai dan tokoh reformasi 1998, nama Pak Amien Rais bagi kami ibarat
inspirasi dalam setiap langkah politik. Namun semakin saya menyimak
sikap dan manuver Pak Amien—khususnya akhir-akhir ini—saya jadi heran,
kenapa Pak Amien seperti itu? Apa yang saya maksud tentu terkait
kritikan tajam Pak Amien ke Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo dan
kadernya sendiri, Ketua Umum PAN, Hatta Rajasa. Terbaru ke Jokowi, Amien
menyatakan agar rakyat Indonesia tak salah pilih pada 2014 mendatang,
dengan memilih politisi yang hanya mengandalkan popularitas. Lebih jauh,
beliau menyamakan “level” Jokowi dengan Joseph Estrada, Presiden
Filipina yang terpilih secara mutlak namun dijatuhkan hanya dalam waktu
dua tahun. Pak Amien seakan mem-framing, kualitas Jokowi tak jauh berbeda dengan Estrada yang beliau sebut suka mabuk-mabukan dan tidak kompeten. “Jokowi lebih baik sedikit lah, tapi intinya sama, mengandalkan popularitas”, ujar Amien.
Sebelumnya, dalam dua bulan terakhir, Pak
Amien sudah dan terus menyerang mantan Walikota Solo ini sebagai pribadi
yang tak kompeten. Apa yang media simpulkan sebagai “prestasi Jokowi”
di Solo, menurut Amien, tak lebih dari pepesan kosong. Sebagai orang
yang “tahu banyak” tentang kota Solo, Amien menegasikan semua kerja
Jokowi yang bahkan dianugerahi sebagai salah satu Walikota Terbaik Dunia
sebagai pencitraan semata. Ia justru “membenturkan” Jokowi dengan
wakilnya—FX Hadi Rudyatmo—dimana ia menegaskan FX Rudi-lah yang bekerja,
bukan Jokowi! Pertanyaanya adalah, mengapa Pak Amien sibuk menyerang
Jokowi akhir-akhir ini, atau jelang Pilpres 2014? Bila memang Pak Amien
memiliki “catatan buruk” politisi ndeso ini, seharusnya ia
sudah memberikan penyadaran ke publik saat Jokowi maju di Pilgub Jakarta
tahun lalu. Hanya Pak Amien yang tahu alasannya.
Sekedar alasan atau ada agenda yang lebih
besar? Yang pasti apa yang dilakukan Pak Amien terhadap Jokowi tidak
hanya berdampak bagi dirinya, melainkan juga partai PAN. Secara
personal, Pak Amien yang sudah “mundur” dari panggung politik nasional
tidaklah terlalu terpengaruh atas manuver apapun yang ia lakukan. Tetapi
bagi partai, ini jelas langkah yang kurang tepat. Suka atau tidak,
Jokowi terpilih secara demokratis oleh rakyat Jakarta. Itu artinya
masyarakat ibu kota merindukan sosok yang dianggap mampu menyelesaikan
himpitan problem hidup mereka yang hampir menjadi “tradisi”, seperti
banjir dan kemacetan. Jokowi juga tidak terpilih secara “mayoritas
mutlak”, layaknya Orde Baru. Ia harus bersaing untuk menang, bahkan
melalui dua putaran. Dengan “menantang arus” massa menolak Jokowi dengan
alasan-alasan yang kurang kuat, itu sama dengan menurunkan citra PAN.
Nantinya partai ini akan dianggap tidak paham kebutuhan rakyat dan hanya
sibuk bermanuver untuk kebutuhan sesuatu yang high politics. Sementara rakyat hanya ingin hal-hal sederhana, termasuk pemimpin yang sederhana ala Jokowi.
Bila logikanya demikian, sejatinya target
Pak Amien bukanlah Jokowi, melainkan Ketua Umumnya sendiri, yaitu Hatta
Rajasa. Kok bisa? Begini, beberapa bulan terakhir beredar isu kuat Hatta
akan berpasangan dengan Jokowi di Pilpres 2014 nanti. Kedua tokoh juga
kerap bertemu, baik secara formal maupun informal. Jokowi melihat Hatta
sebagai politisi yang tak suka menyerang lawan, lebih banyak bekerja dan
tahu hal-hal teknis. Ini sekaligus kekurangan Jokowi yang bisa dititup
Hatta. Jokowi selama ini memang belum teruji bila berbicara menyangkut
fiskal, economy policy maupun menstabilkan politik tingkat
tinggi. Hatta dengan jam terbangnya punya itu semua. Ia adalah
katalisator membaiknya hubungan Mega dan Presiden SBY. Ia juga arsitek
ekonomi nasional dengan hasil nyata, pertumbuhan di atas 6% (terbaik
kedua dunia) dari 2009 hingga 2012. Di sisi lain, Jokowi mencerminkan
pribadi yang sederhana, tak neko-neko dan bisa diterima publik. Klop!
Mari simak langkah Pak Amien mengenai dua
tokoh di atas. Saat Hatta belum dekat dengan Jokowi, Amien berkali-kali
menyatakan bahwa kadernya, yang populer dengan inisial HR adalah sosok
yang tepat memimpin negeri ini ke depan. Misalnya pada 2011, dimana pak
Amien menyebut Bang Hatta sebagai calon satu-satunya dari PAN. “…ada beberapa hal yang membuat saya yakin Hatta Rajasa menjadi satu-satunya capres PAN 2014”, ujar Amien (http://www.pikiran-rakyat.com/node/154381).
Seiring waktu berjalan dan mulai terbukanya komunikasi PAN-PDIP dan
Jokowi dengan Hatta, Amien bahkan menilai duet keduanya sangat pas dan
tepat. “Jokowi-Hatta Rajasa mirip-mirip dengan Bung Karno dengan
Hatta. Jadi, Bung Karno itu pemersatu bangsa, solidarity maker,
sementara Bung Hatta menekuni administrasi, problem solver”, kata Pak Amien (http://news.okezone.com/read/2013/07/18/339/838653/amien-rais-ngebet-ingin-duetkan-jokowi-hatta).
Kini semua seakan berbeda. Amien juga seperti tak pernah mengatakan dua
hal di atas. Politik memang tak pernah peduli dengan kata-kata yang
diucapkan.
Setelah menyerang Jokowi sebagai tokoh
sekelas Estrada, Amien secara konsisten juga “menghabisi” kadernya
sendiri, Hatta Rajasa. Bahkan “eksekusi politik” terakhir ke HR
dilakukan di “rumah” sendiri, yaitu forum Rakernas PAN, Agustus 2013.
Pak Amien menegasikan semua kerja keras Hatta mengawal ekonomi Indonesia
dengan menyebut, ekonomi berjalan tanpa arah dan hancur-hancuran. Kok
bisa ya tokoh sentral PAN menghajar anak buahnya sendiri di publik?
Begitu kata seorang teman yang hadir di Rakernas itu. Ini bukan
pendidikan politik yang baik bagi bangsa ke depan. Seharusnya Pak Amien
sebagai tokoh bangsa, mengajari bangsa ini untuk mampu menempatkan, mana
ruang publik, mana ruang organisasi. Walaupun tidak setuju, namun bila
itu masuk di ranah organisasi, seharusnya bisa diselesaikan di internal
organisasi. Bukan diungkapkan di pidato politik yang disiarkan live ke
seluruh negeri. Dan itu terlihat di atmosfer Rakernas, dimana
kader-kader PAN lebih bergemuruh kala Bang Hatta naik ke panggung dan
mengajak para kadernya melakukan aksi nyata, tak sekedar wacana. Hatta
cukup pede dengan pidatonya karena ekonomi di tangannya harus diakui
berada pada titik cukup baik, walaupun masih ada beberapa pekerjaan
rumah. Pertumbuhan ekonomi stabil dalam lima tahun, realisasi FDI juga
di grafik positif dan yang terbaru, daya saing Indonesia melesat dari
urutan 50 ke 38 dari 180 negara (Rilis WEF September 2013).
Dengan melihat semua rangkaian fakta-fakta
di atas, kemungkinan agenda Pak Amien memang mengabisi peluang Hatta
untuk maju sebagai Capres maupun Cawapres pada 2014 nanti. Untuk soal
yang beginian, Pak Amien memang jagonya. Pasca 1999, Amien adalah otak
di balik tergusurnya Megawati dari kursi Presiden. Dengan kendaraan
Poros Tengah, Pak Amien yang sebenarnya tak terlalu nyambung
dengan Amdurrahman Wahid (Gusdur), mendadak berkoalisi dan menyokong
Gusdur. Sejarah mencatat, Poros Tengah menerima nama Gusdur dan
mendorongnya. Pak Amien di belakang manuver tingkat tinggi ini. Namun
sejatinya itu bukan keberhasilan Amien, melainkan sosok populis Gusdur
yang diterima semua faksi di Poros Tengah. Belum tentu bila Pak Amien
mengajukan namanya sendiri untuk menjegal Mega, skenario akan berhasil.
Belum lama mendukung Gusdur, mendadak
Amien dengan “pedang” sebagai Ketua MPR mendongkel Gusdur dari krusi
presiden (Juli 2001). Amien meyakinkan Poros Tengah untuk (kali ini)
menyokong Mega ke kursi yang seharusnya ia dapatkan di 1999. Dan
keraguan alasan pendongkelan Gusdur terkonfirmasi saat ini, dimana ia
dinyatakan bersih oleh pengadilan, tidak terlibat skandal korupsi Buloggate dan Bruneigate.
Pak Amien meminta maaf? Publik tak banyak mendengar itu, setidaknya
hingga hari ini. Sampai tahun pemilu 2004, Pak Amien mencoba peruntungan
dengan maju sebagai Capres dalam sistem pilihan langsung. Bermodal
predikat sebagai “tokoh reformasi” ia berharap predikat tersebut dapat
dikapitalisasi menjadi suara yang massif. Faktanya? Amien gagal lolos
putaran kedua, kalah bersaing dengan Mega dan SBY. Pasca 2004 Pak Amien
tak juga slow down dan mendinginkan mesin. Sebaliknya, ia terus
mengecam pemerintahan SBY-JK dan kini SBY-Boediono yang ia sebut
sebagai antek asing, melanggar UUD 1945 dan kapitalis. Ide-ide yang
sama, seperti yang ia tudingkan ke muka Suharto di tahun 1998.
Namun zaman sudah berubah, masyarakat kian
cerdas. Ide-ide bombastis seperti di atas tak lagi ditelan
mentah-mentah oleh publik. Sebaliknya, mereka mencari tahu dari semua
sumber—karena itu dimungkinkan di era press freedom sekarang
ini. Serangan-serangan Amien ke SBY soal antek asing misalnya,
dibenturkan dengan fakta-fakta renegosiasi kontrak karya yang justru
menekan MNC-MNC itu. Ide melanggar UUD 1945 terutama pasal 33,
dihadapkan dengan fakta makin mengkilapnya kinerja sejumlah BUMN
akhir-akhir ini. Juga adanya kebijakan khusus terkait rakyat kecil dalam
skema pro job, pro poor dan pro enviroment. Dalam situasi yang
demikian, Amien hanya bisa meledakkan isu-isu “hot”, namun publik tak
lagi melihatnya sebagai satu-satunya kebenaran. Akhirnya suara Pak Amien
mengalir begitu saja, tanpa tekanan yang berarti.
Dalam lingkup PAN saat ini, apa yang
ditunjukkan Pak Amien dengan menyerang Jokowi dan Hatta sendiri,
merupakan potret politik yang terlepas dari frame-nya.
Maksudnya, zaman sudah berubah, tantangan juga berubah. Bila di
awal-awal reformasi partai harus menyerang lawan politik untuk
mendapatkan dukungan rakyat, kini cara tersebut tak efektif lagi.
Kemenangan Partai Demokrat dan SBY dalam satu putaran pada Pilpres 2009
di tengah kecaman dan cacian lawan politik menunjukkan bahwa rakyat
menunggu kerja dan aksi nyata partai membangun bangsa, daripada sibuk
menyerang satu sama lain. Itu pula yang diyakini Hatta, bahwa political behavior PAN tidak mungkin sama lagi dengan masa lalu yang selalu attacking to government.
Sebagai wakil PAN di pemerintahan KIB II, tentu tidak logis bila Hatta
menyerang pemerintahan yang dijalankannya sendiri. Ini pelajaran
demokrasi sederhana yang kerap dikebiri oleh pihak-pihak yang mengaku
penyokong demokrasi. Di negara demokrasi manapun—termasuk AS yang kita
anggap paling mapan praktek demokrasinya—tidak ada ceritanya kader
Demokrat (dan koalisinya) menyerang pemerintahan Presiden Barrack Obama.
Kalaupun ada perbedaan pendapat, itu seharusnya diselesaikan di
internal partai, dan bukan dijajakan ke publik. Nah ini yang lama absen
dari politisi-politisi kita produk reformasi, dimana semua merasa paling
benar sehingga tidak pernah bisa bekerjasama dan bersatu. Padahal,
kebersamaan adalah modal sebuah bangsa untuk maju. Tidak ada yang lain.
Kita tunggu episode apa lagi yang akan “digarap” Pak Amien untuk Jokowi dan Hatta Rajasa.***
Sumber : Kompasiana
0 komentar:
Post a Comment