Sunday 13 July 2014

Main-Main Nasib Ahli yang Mahal

Main-Main Nasib Ahli yang Mahal
Senin, 14 April 2014
Manufacturing Hope 123

Saya merasa bersalah. Salah besar. Terutama kepada anak muda yang hebat ini: Ricky Elson.

Dia sudah enak hidup di Jepang. Sekolahnya pintar dan setelah lulus pun langsung diminta untuk bekerja di perusahaan besar di sana. Gajinya bagus dan karirnya melejit. Perusahaan itu juga memberikan lapangan yang luas yang bisa dia pakai untuk berkiprah.

Ricky Elson menemukan banyak inovasi kelas dunia. Selama bekerja di Jepang, dia berhasil mematenkan 14 penemuan di lembaga paten di Jepang. Terutama di bidang motor listrik. Anak yang begitu lulus SMA di Padang itu langsung sekolah di Jepang menjadi anak emas di sana.

Kesalahan saya adalah memintanya pulang ke Indonesia. Untuk mengabdi ke bangsa sendiri. Cukuplah mengabdi 14 tahun untuk bangsa Jepang.

Di berbagai kampus universitas kita, saya memang sering mendengar teriakan mahasiswa seperti ini: mengapa tidak diusahakan memanggil pulang anak-anak bangsa yang hebat-hebat yang kini di luar negeri.

Terakhir suara seperti itu saya dengar waktu dialog dengan mahasiswa Politeknik Negeri Denpasar dan mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Purwokerto dua minggu lalu. Pertanyaan seperti itu juga disuarakan banyak kalangan di berbagai kesempatan.

Tentu saya mencoba untuk realistis. Jangan semua anak kita yang hebat dipanggil pulang. Panggillah yang benar-benar diperlukan untuk proyek mendesak yang bisa mengeluarkan bangsa ini dari kesulitan.

Saya melihat bangsa ini lagi terbelit masalah besar. Yang belum menemukan jalan keluarnya yang jelas. Yakni, persoalan ketergantungan bangsa ini pada bahan bakar minyak (BBM) impor. Kian lama impor BBM kita kian besar. Dan, akan kian besar.

Salah satu solusi yang saya lihat adalah mobil listrik. Bukan karena saya ahli mobil listrik, melainkan begitulah pendapat ahli di seluruh dunia. Kalau terlambat mengembangkannya, kita akan terantuk lubang untuk kali kedua. Mobil-mobil listrik buatan asing akan membanjiri Indonesia dalam 15 tahun ke depan.

Maka, saya merayu Ricky untuk pulang. Memang dia semula menolak. Gajinya akan turun drastis. Dia sudah menikah. Perempuan Padang juga. Dia sudah harus bertanggung jawab kepada keluarga.

Tapi, alasan penolakan terbesarnya adalah ini: apakah saya akan berarti? Apakah saya akan mendapatkan keleluasaan untuk mencipta? Apakah pemerintah Indonesia akan memberikan dukungan? Apakah proyek itu benar-benar akan bisa jalan? Dan, banyak pertanyaan yang sifatnya jauh dari urusan uang seperti itu.

Soal gaji yang akan turun, saya bisa mencarikan jalan keluar. Biarlah seluruh gaji saya sebagai menteri, dialah yang menerima. Setiap bulan. Tapi, soal jaminan kelangsungan proyek, saya sulit memberikan. Kecuali bahwa saya akan ikut all-out. Termasuk membiayai seluruh pembuatan mobil-mobil listrik prototipe.

Ricky memenuhi komitmennya. Membuat mobil listrik 100 persen made in Indonesia. Dia juga berhasil membina tenaga-tenaga ahli di Pindad agar bisa membuat bagian yang paling sulit dari mobil listrik: motor listrik.

Tapi, nasib mobil listrik kini kian tidak jelas. Aturan tentang mobil listrik tidak segera keluar. Sikap Bapak Presiden sendiri sudah sangat jelas: berikan dukungan yang maksimal untuk mobil listrik. Nyatanya, sulitnya bukan main.

Kini Ricky menganggur di Indonesia. Dia seperti harus menunggu Godot. Maka, dia mulai merasa hidup sia-sia. Dia ingin kembali ke Jepang. Dia tidak berani mengatakannya langsung kepada saya, tapi dari beberapa tulisan tentang Ricky di Kompasiana, saya bisa merasakan dukanya yang dalam.

Bahkan, salah seorang temannya di Jepang meledeknya dengan kalimat ini: sudah puaskah Anda hanya main-main di Indonesia?

Saya merasa bersalah. Saya tidak akan mampu menahannya. Terutama karena masa depannya yang tidak boleh dikorbankan.

Ricky sebenarnya sangat ideal bagi saya. Selama hampir dua tahun di Indonesia, dia kerja amat keras. Sama sekali tidak menonjolkan diri sebagai seorang ahli. Dia sangat ringan kaki. Mau terjun ke bawah dan mengurus hal yang detail.

Dia tidak segan-segan ikut angkat-angkat barang. Dia mau membina dan mengajar secara telaten dan sistematis. Misalnya, mempraktikkan dan menularkan ilmu yang dia peroleh selama di Jepang.

Saya masih berharap, kalau perjuangan mobil listrik sudah jelas, kelak akan merayunya kembali untuk pulang ke Indonesia.(***)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Minum Spirulina Mahmud dan Menunggu Sidiq

Minum Spirulina Mahmud dan Menunggu Sidiq
Senin, 21 April 2014
Manufacturing Hope 124

Dua anak muda ini gigihnya bukan main. Mahmud dan Sidiq. Mahmud baru lulus dari Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro (Undip) Semarang dan Sidiq masih kuliah di Teknik Mesin Universitas Brawijaya Malang.

Dua bulan lalu, ketika saya bermalam di satu desa di pinggir hutan di pedalaman Wonogiri, Jawa Tengah, Mahmud nguber saya sampai ke desa itu. Senja amat mendung. Hujan renyai-renyai tidak kunjung berhenti. Di suasana senja yang dingin itu, Mahmud menyusul saya ke masjid desa.

Meski langit sudah gelap, saat magrib ternyata masih lama. Mahmud membuka laptopnya. Dengan berapi-api dia mendesak saya. “Pemerintah harus turun tangan. Jangan mengabaikan penemuan saya ini,” katanya.

Saya dengarkan terus penjelasannya yang bertubi-tubi itu. Ditonton orang-orang desa yang siap-siap berjamaah Magrib. Di mata yang mendengarkan penjelasan itu, pemerintah terkesan jelek sekali. Tidak membantu dan mengakomodasi penemuan seperti ini.

“Ini sangat menguntungkan, Pak Dahlan,” ujarnya. “Ayo, BUMN bantu dengan CSR-nya,” tambah dia.

Rupanya, Mahmud baru menemukan rumus mengembangkan alga (algae) air tawar. Itulah produk yang disebut spirulina. Selama ini memang sudah banyak beredar di pasar produk spirulina. Tapi spirulina hasil dari alga air asin (air laut).

Produk ini terkenal terutama karena agresifnya sistem pemasaran multilevel marketing (MLM). Mahal tapi laris. Khasiat spirulina yang tinggi membuat impor spirulina luar biasa besarnya.

“Saya berhasil mengembangkan algae air tawar,” katanya. “Dengan demikian, spirulina dari algae yang saya kembangkan ini bebas logam berat, arsen, dan tidak bau amis,” tambahnya. “Ini pertama di Indonesia,” kata Mahmud bersemangat.

Di dalam masjid di desa pinggir hutan itu, sambil menunggu datangnya magrib, Mahmud saya ajak hitung-hitungan. Saya cecar dia dengan pertanyaan-pertanyaan: harga benih, modal bikin kolam, harga jual, tingkat persaingan, risiko gagal, dan seterusnya.

Mahmud bisa menjawab dengan tangkas. Akhirnya saya berkesimpulan: penemuan ini memang sangat baik. Juga sangat menguntungkan. Satu hektare sawah bisa menghasilkan Rp 300 juta. Bandingkan dengan tanam padi yang menghasilkan sekitar Rp 50 juta.

“Kalau begitu, berhentilah Anda menyalah-nyalahkan pemerintah,” kata saya. “Berhentilah berpikir ngemis-ngemis cari bantuan,” kata saya lagi.

“Ini bisnis yang bagus. Lakukan sendiri. Jangan cengeng. Kalau Anda minta pemerintah ikut campur, bisa-bisa tambah ruwet,” tegas saya.

Alhamdulillah. Mahmud bisa menerima penjelasan saya. Dia tidak akan menyalah-nyalahkan orang. Juga tidak akan mengemis-ngemis. Dia akan terjun ke bisnis dengan basis penemuannya itu. “Go!” kata saya dengan bangga kepada anak muda ini. Saya pun berjanji mengunjunginya kalau dia sudah menjalankan bisnisnya itu.

Minggu lalu saya memenuhi janji itu. Saya ke desanya, Tawangsari, Sukoharjo, di selatan Solo. Tanpa memberi tahu lebih dulu. Matahari bersinar terik. Saya lewati pabrik tekstil terkenal itu: Sritex. Masih terus ke selatan.

Desa ini bukan desa miskin. Rumah-rumahnya bagus. Tidak sulit mencari rumahnya. Bapaknya ternyata orang terkenal: politikus PAN yang sedang nyaleg. Juga tergolong kaya untuk ukuran desa itu. Saya lega. Mahmud pasti punya modal untuk mengembangkan alga air tawarnya.

Ternyata benar. Mahmud sudah punya tiga kolam kecil. Bahkan sudah berhasil panen alga air tawar beberapa kali. Alga ini memang bisa dipanen tiap empat hari. Alga itu dia saring, dia keringkan, dan dia bikin tepung. Dengan alat-alat sederhana. Lalu dia masukkan ke saset-saset. Siap dijual. Bersaing dengan spirulina impor.

Saya sangat gembira. Mahmud benar-benar anak muda yang gigih. Saya membeli sepuluh saset hari itu. Salah satunya saya buka, saya buang labelnya, saya masukkan plastik tanpa identitas.

Sampai Jakarta, “tepung tanpa identitas” itu saya kirim ke laboratorium Kimia Farma untuk diteliti. Saya tidak memberi tahu asal usul dan nama tepung itu.

Hasil uji lab itu mengatakan bahwa tepung tersebut adalah spirulina, namun tidak mengandung logam berat, arsen, dan NACL. Juga tidak ada kandungan bahan kimia. Sejak itu saya minum spirulina made in Sukoharjo tersebut. Tiap hari.

Mahmud juga sudah mendirikan perusahaan. Namanya CV Neoalgae Technology. Sebagai lulusan Teknik Kimia Undip, dia tidak sulit melakukan penelitian-penelitian untuk membiakkan alga itu.

Kini Mahmud akan memperbesar kolam-kolam alganya. Tidak lagi hanya tiga kolam di sebelah rumahnya. Dia sudah mulai mengerjakan sawah 1 hektare agak jauh dari rumahnya untuk diubah jadi kolam alga air tawar.

“Saya kewalahan. Pesanan spirulina melebihi produksi saya,” ujarnya. “Terutama dari perusahaan-perusahaan obat herbal,” tambahnya.

Tentu saya berdoa agar Mahmud jadi pengusaha muda yang sukses besar. Dia layak untuk itu. Kita berharap Indonesia tidak perlu lagi impor spirulina. Mahmud juga tidak keberatan ada anak muda lain yang mengikuti jejaknya.

Lain lagi dengan Sidiq. Dia menemukan alat pengering gabah. Mengandalkan tenaga surya. Mirip dengan yang ditemukan mahasiswa Universitas Mataram di Lombok.

Waktu itu saya sedang nonton wayang di desa Campurdarat, Tulungagung, Jawa Timur. Tiba-tiba Sidiq nongol. Jam sudah menunjukkan pukul 00.00. Dia datang dari Malang. Naik sepeda motor. Dua jam lamanya.

Di malam yang kelam. Melewati jalan yang berliku naik turun di sekitar Bendungan Karangkates. Nekat benar anak ini.

Malam itu deal! Saya berikan dana untuk membuat prototipenya. Dua bulan lagi barang itu akan jadi.

Sidiq sangat amanah. Di waktu yang dijanjikan, dia selesaikan proyek itu. Jumat kemarin saya lihat hasilnya. Bisa berfungsi. Namun, suhunya kurang panas. Dia masih menggunakan kaca biasa. Bukan kaca khusus yang bisa menghasilkan panas 20 derajat lebih tinggi.

Tapi, itu soal sepele. Yang jelas fungsinya sudah ketemu. Saya minta alat ini disempurnakan. Di bawah binaan BUMN PT Pertani. Siapa tahu bisa menggantikan mesin pengering yang mahal-mahal dengan bahan bakar yang juga mahal itu.

Mahmud, Sidiq, dan banyak lagi anak muda yang tidak kenal menyerah. Harapan besar di depan mata. Saya akan terus minum spirulina-nya Mahmud. Dan menunggu pengering gabahnya Sidiq. (*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Kemandirian Cuci Darah dan Infus dari Madura

Kemandirian Cuci Darah dan Infus dari Madura
Senin, 28 April 2014
Manufacturing Hope 125

Kemandirian bangsa juga segera terwujud di bidang ini: garam kesehatan dan garam minuman. Selama ini kebutuhan garam untuk kesehatan 100 persen harus diimpor. Ini baru saya ketahui ketika awal-awal menjabat menteri BUMN. Waktu itu saya bertanya kepada direksi PT Kimia Farma, obat apa saja yang kita belum bisa buat.

Jawabnya ternyata: semua belum bisa bikin. Bahan baku obat kita semuanya masih harus diimpor. Memang beberapa obat sudah dibuat di dalam negeri, termasuk obat lamivudin untuk HIV, tapi bahan bakunya impor. Demikian juga obat-obat generik, semuanya menggunakan bahan baku dari luar negeri.

Dengan semangat kebangkitan industri dalam negeri, saya minta direksi Kimia Farma menyusun daftar obat apa saja yang mungkin akan bisa kita buat bahan bakunya. Saya minta dimulai dari yang paling mudah.

Ternyata, ada 12 obat yang mungkin bisa kita buat sendiri. Asal ahli-ahli dari perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset bekerja sama dengan BUMN. Dari 12 jenis obat itu, ada yang bisa diwujudkan dalam satu tahun, tapi ada juga yang baru akan terwujud dalam tiga atau empat tahun. Tidak mengapa. Yang penting masing-masing ada road map untuk mewujudkannya.

Maka, mulailah kita buat road map untuk yang paling mudah mewujudkannya: garam kesehatan dan garam minuman. Kita punya garam. Teknologi untuk mengubah garam biasa menjadi garam kesehatan dan garam minuman juga tidak terlalu rumit.

Bahkan, ternyata anak-anak bangsa sendiri sudah berhasil menemukan caranya. Mereka adalah ahli-ahli yang masih muda (waktu itu) dari BPPT: Imam Paryanto, Bambang Marwoto, Bambang Sriyanto, dan Wahono sebagai koordinator.

Mereka melakukan penelitian di pusat garam Madura. Bekerja sama dengan PT Garam (Persero). Mereka saya sebut “masih muda” (waktu itu) karena penelitian itu dilakukan 16 tahun yang lalu. Hasilnya langsung mereka patenkan atas nama BPPT.

Berdasar informasi tersebut, kami mengundang pimpinan BPPT untuk membicarakannya. Bolehkah penemuan anak bangsa itu diimplementasikan? “Itu yang sudah lama kami tunggu-tunggu,” ujar Dr Listyani Wijayanti, deputi kepala BPPT yang memimpin tim BPPT ke BUMN.

Ketika mengucapkan kata “sudah lamaaaaa”, terasa bunyi huruf “a”-nya mungkin lebih dari 25 buah.

Mengapa selama ini hasil penelitian itu tidak diwujudkan agar kita tidak perlu impor garam farmasi?” Tidak ada yang membuat keputusan,” ujar Dr Listyani yang alumnus Saitama University Jepang. “Sudah dua buku laporan yang kami terbitkan, tapi ya hanya sampai buku itu,” tambahnya.

Hari itu rapat lantas tidak hanya membicarakan penemuan garam farmasi dan minuman. Tapi melebar ke penemuan apa lagi yang sudah dihasilkan BPPT dan akan dihasilkan lembaga tersebut. Dari situlah kami sepakati ada 12 penemuan bahan baku obat yang akan bisa diproduksi di dalam negeri.

Khusus untuk garam farmasi, waktu itu kami sepakati harus terwujud paling lambat akhir 2014. Tahun ini. Dirut Kimia Farma Rusdi Rosman menyanggupi. Juga menganggarkan investasi Rp 25 miliar pada 2014. Kimia Farma sangat mampu menyediakannya.

Rasanya target itu akan terpenuhi. Kalaupun meleset hanya dua-tiga bulan. Apalagi, hasil riset BPPT itu memang sudah sangat detail. Badan POM sudah langsung memprosesnya dan mengizinkannya.

Selasa lalu penandatanganan kerja sama dua BUMN dilakukan di depan saya. PT Kimia Farma dan PT Garam. Maka, Kimia Farma segera membangun pabrik bahan baku garam kesehatan itu.

Pabrik tersebut akan dibangun di Watudakon, Mojokerto, Jawa Timur. Di sebelah pabrik yodium milik Kimia Farma. Di situ memang ada sumber yodium. Pembangunan pabrik garam farmasi dan garam minuman ini bisa cepat karena tanahnya sudah siap, sudah matang, uangnya sudah siap, dan pabriknya sederhana.

Kalau toh tidak bisa tepat akhir tahun ini, paling lambat awal tahun depan. Kita segera mandiri untuk bahan baku garam farmasi dan minuman. Kita bisa stop impor 100 persen. “Bahkan, kami merencanakan ekspor,” ujar Rusdi.

Pabrik itu tahap pertamanya akan berkapasitas 3.000 ton, tapi dengan mudah bisa ditingkatkan menjadi 6.000 ton. Garam farmasi ini paling banyak untuk cairan infus, oralit, dialisat (cairan untuk cuci darah bagi pasien gagal ginjal), dan banyak lagi. Demikian juga untuk membuat sabun dan sampo, memerlukan garam farmasi. Betapa luasnya kegunaannya. Kedelai edamame yang jadi makanan pembuka di restoran Jepang juga menggunakan garam farmasi.

Pabrik infus dari Jepang seperti Otsuka sudah berminat membeli produksi Kimia Farma. Demikian juga pabrik-pabrik minuman seperti Pocari Sweat dan Coca-Cola.

Tahun depan, kalau Anda lagi diinfus, jangan terus mengira bahan bakunya masih impor. Itu sudah dari Madura. Tapi, lebih baik kalau Anda tetap sehat dan tidak memerlukan infus sama sekali. (*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Patriotisme BRIsat di Orbit Luar Angkasa

Patriotisme BRIsat di Orbit Luar Angkasa
Senin, 05 Mei 2014
Manufacturing Hope 126

Dari Tual terbang ke Bali. Dulu jual sekarang beli. Itulah pantun yang tiba-tiba diucapkan seorang tokoh saat berada di dalam lift kantor pusat Bank Rakyat Indonesia (BRI).

Hari itu Direktur Utama BRI Sofyan Basyir menandatangani kontrak pembelian satelit dari perusahaan Amerika Serikat (AS) Space System/Loral, LLC. Satelit tersebut akan diluncurkan perusahaan Prancis Arianespace.

Presiden SBY hadir di acara itu meski tidak memberikan pidato sambutan. Saya dan Menkominfo Tifatul Sembiring mendampingi beliau. Banyak pertanyaan wartawan setelah itu. Perlukah BRI beli satelit sendiri? Mengapa dilakukan sekarang ketika mau pilpres?

Saya sudah biasa menerima pertanyaan yang menyelidik seperti itu. Jadi, jawabannya pun sudah di luar kepala.

Yang paling tahu perlu beli satelit sendiri atau tidak tentu manajemen BRI sendiri. “Kalau Indonesia itu seperti Tiongkok atau India, memang tidak perlu,” jawab Sofyan Basyir. Dua negara tersebut berupa daratan (mainland). Komunikasinya bisa lewat kabel.

Tapi, Indonesia ini berpulau-pulau, jarak dari barat sampai ke timurnya 5.200 km. Jaringan BRI menyebar ke seluruh pelosok dan ke seluruh pulau. “Kalau BRI sudah puas seperti ini, juga tidak perlu satelit,” tambahnya.

Meski sudah menjadi bank yang sangat besar, BRI harus terus berkembang. Besar untuk ukuran Indonesia belum besar untuk ukuran dunia. BRI sudah menjadi micro banking terbesar di dunia. Sistemnya harus benar-benar kuat. Sistem teknologi informasinya harus benar-benar modern.

Masih ada lagi. “Kalau harga satelit itu mahal, juga tidak perlu,” kata Sofyan. Bagi BRI, dengan laba tahun lalu Rp 21,5 triliun, pengadaan satelit ini berada dalam jangkauan kemampuannya. Apalagi, pengeluaran rutin untuk komunikasinya sudah mencapai Rp 500 miliar setahun.

“Kalau punya satelit sendiri, pengeluaran itu bisa turun menjadi kurang dari Rp 250 miliar setahun. Ada penghematan Rp 250 miliar setahun,” ujar Sofyan.

Saya memang menyetujui langkah besar BRI ini. Dengan demikian, BRI bisa memberikan pelayanan lebih baik. Bahkan bisa leluasa membuka jaringan di pulau sejauh apa pun dan seterpencil apa pun. Pulau-pulau yang jauh itu tidak lagi jauh secara sistem. Semuanya bisa dikontrol secara tersentral dan real time.

Tapi, mengapa dilakukan sekarang, ketika dekat pilpres? Pertanyaan ini sama sekali tidak relevan. Sebuah korporasi harus tetap bergerak di saat apa pun. Sebelum pilpres atau sesudah pilpres. Korporasi bukan institusi politik dengan siklus politiknya.

Bila kita melakukan sesuatu di hari Senin, akan ditanya mengapa tidak Selasa. Dilakukan Selasa pun, pasti akan ditanya mengapa tidak Rabu! Tidak akan ada habis-habisnya.

Saya ingin terus mendorong BRI maju. Mumpung momentumnya tepat. Kadang momentum muncul hanya sekali. Kalau tidak dimanfaatkan bisa lewat begitu saja. Apalagi, pembelian satelit oleh BRI ini mengandung unsur patriotisme dan kebanggaan nasional yang tinggi. Ini bukan pidato tentang patriotisme. Ini langkah nyata.

Kavling orbit satelit ini dulunya milik Indonesia. Jelasnya milik Indosat. Namun, ketika Indosat dijual pada 2002, satelit tersebut ikut terjual. Kavling satelit itulah yang kini “direbut” kembali oleh BRI.

Tidak gampang. Sulit. Sangat sulit. Saya bersyukur usaha yang ruwet itu akhirnya berhasil.

BRI (dan kita semua) sangat berterima kasih kepada Menkominfo Tifatul Sembiring. Beliaulah yang berada di depan untuk berjuang mendapatkan kembali kavling satelit itu. Tentu juga mendapat dukungan penuh Bapak Presiden SBY. Perjuangan satelit ini tidak kalah heroiknya dibanding perjuangan mendapatkan Inalum tahun lalu.

Seandainya perjuangan “merebut” kembali kavling satelit ini tidak sulit, tidak perlu memakan waktu. Pembelian satelit itu pun sudah bisa dilakukan tahun lalu. Bukan menjelang pilpres begini.

Satelit itu nanti diberi nama BRIsat. Akan diluncurkan dari pulau kecil Guyana di pesisir Karibia, Amerika Selatan. Satelitnya sendiri dibuat di AS. Lalu diangkut ke Prancis. Dari Prancis dinaikkan kapal feri ke Guyana, memakan waktu lebih satu bulan. Bergantung cuaca dan gelombang laut.

Setelah diluncurkan dari Guyana, hanya dalam waktu 29 menit BRIsat sudah berada di ketinggian 35.000 km. Dari luar angkasa sana BRIsat bisa meng-cover wilayah seluruh Indonesia, Asia Tenggara, sampai Australia Barat.

Lokasi BRIsat adalah orbit terbaik. Orbit ini mestinya hanya bisa diisi 360 satelit. Karena mereka harus dideretkan di tiap derajat dari 360 derajat keliling bumi. Orbit ini jadi rebutan semua negara.

Saking banyaknya negara yang mengincarnya, sampai-sampai kompromi harus dilakukan. Lokasi yang mestinya diisi 360 satelit itu kini sudah diisi lebih dari 900 satelit! Alangkah padatnya. Alangkah berjejalnya. Betapa penuhnya orbit itu. Satelit dari seluruh dunia. Itulah sebabnya apa yang dilakukan BRI ini sungguh heroik! Terlambat sedikit, lokasi tersebut bisa jatuh ke negara lain.

Dengan langkah ini pula BRI bisa menarik pulang ahli-ahli satelit kita yang selama ini bekerja di luar negeri. Anak-anak bangsa itu dulunya disekolahkan Pak Habibie ke luar negeri. Lalu tidak pulang karena kondisi ekonomi kita yang terpuruk.

Salah satu di antara mereka adalah Dr Ir Meiditomo Sutyarjoko MSEE. Dia benar-benar ahli satelit yang dipercaya dunia maju. Suatu hari, dua tahun lalu, Meiditomo liburan ke Jakarta. Dia memperkenalkan diri kepada saya. Meiditomo mengatakan, suatu saat nanti Indonesia harus bisa meluncurkan satelitnya sendiri. Dia merasa mampu.

Meiditomo (adik kandung ahli nuklir kita Yudiutomo Imardjoko, Dirut PT Batantek) juga sudah melakukan studi tentang pantai mana di Indonesia ini yang terbaik untuk tempat peluncuran satelit. Lokasi itu, kata Meiditomo, “terbaik di dunia”.

Dia lantas menyebutkan nama lokasi yang ternyata sudah pernah saya kunjungi. “Lurus langsung menuju orbit,” katanya. Kita punya lokasi peluncuran satelit yang posisinya terbaik di dunia!

Kini ada satu tim ahli satelit bangsa sendiri yang pulang ke Indonesia. Mereka menjadi pegawai BRI. BRIsat memang akan dikelola BRI sendiri. Bukan dikelola, misalnya, anak perusahaan.

“Kami ingin satelit ini tidak pernah dijual,” tegas Sofyan. “Kalau dimiliki anak perusahaan, bisa-bisa nanti ujung-ujungnya dijual,” tambahnya.

Saya dukung sepenuh-penuhnya.(*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Dari Mitsui Menjadi Milik Anak Negeri

Dari Mitsui Menjadi Milik Anak Negeri
Senin, 12 Mei 2014
Manufacturing Hope 127

Satu lagi perusahaan BUMN yang membeli perusahaan asing. Mulai 1 April lalu PT Kaltim Pasifik Alkalinitas, perusahaan amoniak terbesar di Indonesia yang selama ini dimiliki Mitsui dan Tomen Jepang, sudah 100 persen menjadi milik Indonesia!

Perusahaan tersebut berlokasi di Bontang, Kalimantan Timur. Berada satu kompleks dengan PT Pupuk Kaltim, anak perusahaan PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC). Amoniak ini sangat penting untuk memperkuat pabrik pupuk kita. Selama ini kita membeli amoniak dari pabriknya Mitsui itu.

Pupuk Kaltim sendiri kini membangun pabrik baru di Bontang. Itulah pabrik ke-5 dengan kapasitas 1,2 juta ton per tahun. Akhir tahun ini pabrik baru tersebut sudah berproduksi.

Bersamaan dengan itu pabrik pertama yang dibangun pada 1974 dimatikan. Pabrik ini sudah sangat tua. Kapasitasnya juga hanya 660.000 ton. Dan, lagi sangat boros. Untuk memproduksi 1 ton urea diperlukan gas 35 mmbtu. Padahal, di pabrik baru nanti, 1 ton pupuk cukup menggunakan gas 23 mmbtu.

Saat ini di PT Pupuk Sriwijaya Palembang juga dibangun pabrik baru. PT Pupuk Kujang juga siap-siap berekspansi. Demikian juga PT Petrokimia Gresik. Dengan ekspansi anak-anak perusahaan itu, tiga tahun lagi PIHC sudah menjadi pabrik pupuk terbesar ke-5 di dunia.

Ini sekaligus menjadi bukti bahwa dengan disatukan dalam satu holding sebuah BUMN mengalami perkembangan yang pesat. Anak-anak perusahaan PT PIHC yang dulu BUMN bisa bersaksi bahwa mereka terus mengalami kemajuan. Aset mereka saat disatukan dulu sebesar Rp 34 triliun. Kini, hanya dua tahun kemudian, sudah menjadi Rp 62 triliun!

Saat ini tinggal satu pabrik pupuk yang masih sulit berkembang: PT Pupuk Iskandar Muda di Aceh. Padahal, itulah satu-satunya industri besar yang ada di Aceh. Karena itu, saya menugasi PIHC untuk mencari jalan keluar agar pabrik pupuk Iskandar Muda jangan sampai tutup. Jangan sampai menyusul tetangganya di situ: PT ASEAN Aceh Fertilizer yang tutup lebih dari 10 tahun yang lalu.

Persoalannya memang berat: tidak ada lagi kecukupan gas di sana. Sudah habis. Sudah 30 tahun lebih gas dikirim ke Jepang dalam bentuk LNG. Bagaimana caranya agar Iskandar Muda tetap bertahan? Bahkan dikembangkan?

Saya minta Arifin Tasrif, Dirut PIHC, melakukan studi pembangunan pipa gas dari Riau ke Medan. Mengapa? Saat ini Pertagas (anak perusahaan Pertamina) membangun pipa gas dari Medan ke Lhokseumawe. Sejauh 330 km. Hampir selesai.

Di pihak lain saat ini sudah ada pipa gas dari Riau ke Sumsel dan Jawa. Tinggal Riau-Medan yang belum nyambung. Jaraknya sejauh kira-kira 500 km.

Kalau pipa gas Riau-Medan bisa dibangun, infrastruktur gas kita sangat kuat. Iskandar Muda juga bisa mendapat gas murah dari selatan. Perbedaan harga gas di Sumsel dan Aceh sudah mencukupi untuk membangun pipa gas tersebut.

Pipa tersebut juga akan terus nyambung ke Jawa Timur. Sekarang ini juga ada kesepakatan baru bahwa pemasangan pipa Cirebon-Semarang segera dimulai. PT Rekayasa Industri, anak perusahaan PIHC yang lain, sudah setuju bekerja sama dengan PGN untuk segera memulai pembangunannya. Akhir bulan ini.

Kalau ini berhasil, infrastruktur gas kita sudah sangat kuat. Apalagi, sebentar lagi LNG Arun sudah berhasil diubah menjadi receiving LNG terminal. Stasiun penerima LNG terapung di utara Jakarta juga sudah beberapa bulan beroperasi. Stasiun yang sama di Lampung, yang dibangun PGN, juga hampir jadi.

Memang, besarnya kapasitas pabrik pupuk kita belum otomatis menyelesaikan masalah di lapangan. Seperti sekarang ini: beberapa daerah melapor kekurangan pupuk. Bisa dipastikan yang kurang itu adalah pupuk bersubsidi.

Rupanya ada masalah saat menentukan besarnya pupuk bersubsidi. Waktu itu pemerintah dan DPR menyepakati jumlah pupuk bersubsidi 7,8 juta ton. Ternyata ini tidak cukup. Kebutuhan pupuk bersubsidi mencapai 9,2 juta ton.

Jadi, pupuknya sendiri ada. Tersedia. Banyak. Barang itu juga sudah siap di gudang-gudang di setiap daerah. Masalahnya pupuk itu tidak boleh disalurkan. Sebelum angka tersebut diperbarui. Kementerian Pertanian harus bertemu DPR dulu. Begitu keputusan itu dibuat, pupuk bisa langsung disalurkan.

Bagi PIHC, membeli pabrik milik Jepang barulah langkah awal. Masih begitu banyak rencana nyata ke depan.(***)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Mesin Harapan Petani Made in Mlilir

Mesin Harapan Petani Made in Mlilir
Senin, 19 Mei 2014
Manufacturing Hope 128

Saya sampai harus belajar dari buaya. Itu kata Agus Zamroni, pengusaha kecil dari Desa Mlilir, Ponorogo. Dia seorang sarjana hukum. Bukan sarjana teknik. Juga bukan sarjana pertanian. Tapi, kegigihannya menciptakan mesin pemanen padi tidak ada duanya.

Sebagai orang desa, Agus hidup dari pertanian. Khususnya padi. Sebagai petani besar, Agus merasakan sulitnya mencari tenaga untuk panen. Kian tahun kian sangat sulitnya. Kesulitan yang sama sebenarnya juga dialami petani tebu: kian sulit cari tenaga penebang tebu.

Sebagai generasi muda, Agus terus mempelajari mesin-mesin panen buatan Jepang dan Tiongkok. “Masak bikin begini saja tidak bisa,” pikirnya.

Agus terus mencoba dan mencoba. Saya menyemangatinya dengan iming-iming bahwa mesinnya itu, kalau sudah jadi, akan dibeli BUMN. Saya yakin dia sangat serius. Usaha taninya serius.

Usahanya sebagai penyalur pupuk juga serius. Orang yang sudah membuktikan bisa serius dalam menangani satu bidang juga akan serius di bidang berikutnya. Karena itu, saya percaya dia tidak main-main.

Dan ternyata benar. Agus berhasil. Lahirlah mesin panen generasi pertama. Dia beri merek Zaaga (diambil dari namanya).

Mesin itu benar-benar bisa digunakan. Tentu masih banyak kekurangan. Masih banyak gabah yang berceceran di luar karung penampung.

Tapi, Agus tidak menyerah. Penyempurnaan terus dilakukan. Saya terus menjanjikan bahwa BUMN akan membeli hasilnya. Lahirlah generasi kedua. Sudah bisa dibilang sangat baik. BUMN membelinya. Dihadiahkan kepada kelompok tani.

Hasilnya bagus. Banyak yang tertarik. Agus sendiri kian percaya diri. Agus berani mengundang saya untuk melihat penggunaan mesin Zaaga generasi kedua itu.

Maka, pada musim panen yang lalu saya memenuhi permintaannya untuk pergi ke Mlilir. Saya berdebar-debar. Ngeri-ngeri sedap, istilah politisinya. Benarkah mesin panen ciptaan anak bangsa itu bisa berfungsi di lapangan.

Ternyata benar-benar berhasil!

Tentu saya sangat senang. Kelompok-kelompok tani juga mulai percaya. Mesin itu terjual laris. Sehari Agus bisa memproduksi dua unit. Luar biasa. Pabriknya yang berada di Mlilir menjadi sangat sibuk.

Sampailah pada suatu pagi yang mengagetkan Agus kedatangan tamu yang membawa beking. Tamu itu marah-marah berat. Agus akan dihajar. Agus dianggap menipu. Mesin panen itu, katanya, tidak bisa digunakan.

Setelah terjadi dialog, diketahuilah bahwa panen itu dilakukan di sawah yang berlumpur dalam. Mesinnya tidak bisa jalan. Rodanya ambles.

Agus merasa kiamat. Setiap menceritakan itu, Agus berlinang air mata. Dia merasa terpukul. Dia sanggupi mengganti uang sang tamu.

Tapi, kegalauannya bukan di soal ganti rugi. Melainkan di kegagalannya itu sendiri. Saat berlinang air mata itulah pikirannya tiba-tiba melayang ke buaya. Kok tangan buaya tidak tenggelam saat merayap di medan berlumpur.

Agus lantas pergi ke berbagai tempat yang ada buayanya. Dia amati. Sebagai orang yang bukan berlatar teknik mesin (tapi dia pernah kursus teknik di bengkel Mercedes-Benz), Agus mendapat ide dari buaya itu.

Maka, dia rancang roda yang berbeda. Yang jarak antargigi lebih lebar. Berhasil. Inilah mesin panen generasi ketiga made in Mlilir.

Minggu lalu saya pergi ke sana lagi. Melihat pabriknya. Juga melihat roda untuk Zaaga generasi baru itu. Teknologi panen sudah bisa dikuasai anak negeri sendiri. Tentu saya juga berharap produsen lainnya, seperti Futata, terus mengembangkan diri.

Saya masih titip satu misi lagi untuk Agus: ciptakan mesin tanam padi. Pesan yang sama juga saya sampaikan saat berdialog dengan mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang Sabtu lalu.

“Siapa yang berkeinginan menciptakan mesin tanam?” tanya saya di depan sekitar seribu mahasiswa.

Mesin tanam sangat penting karena saat ini mencari buruh tanam juga amat sulit. Jadwal tanam bisa mundur sampai satu minggu gara-gara belum mendapat buruh tanam. Itu sangat mengganggu produksi beras.

Lima mahasiswa angkat tangan. Cukup banyak. Satu per satu saya minta untuk menceritakan gagasan masing-masing.

Seorang mahasiswi menceritakannya sambil menahan tangis. “Saya sangat ingin menciptakannya demi bapak saya,” katanya.

“Bapak saya tiap hari dihina nenek saya karena bapak saya hanya bisa bertani,” katanya. Air matanya tak terbendung lagi. Satu ruangan besar ikut terharu.

Tentu mereka akan bisa. Agus yang pendidikan dasarnya madrasah ibtidaiyah dan pendidikan tingginya di Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun saja bisa. Asal mau, kita bisa! (*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Jembatan Fenomenal di Tangan Perusahaan Fenomenal

Jembatan Fenomenal di Tangan Perusahaan Fenomenal
Senin, 26 Mei 2014

Mendarat di Balikpapan dari Bandung, Jumat lalu, saya kaget: semua capres dan cawapres ada di sana untuk menghadiri Sidang Tanwir Muhammadiyah di Samarinda.

Saya sendiri punya empat pekerjaan hari itu: meninjau terminal Bandara Sepinggan yang baru jadi, merencanakan pembangunan jembatan di atas laut terpanjang di Indonesia, rapat pembangunan transmisi tanpa utang luar negeri, dan membantu pembangunan bandara baru di Samarinda.

Setelah meninjau bandara baru Sepinggan, Balikpapan, saya berkesimpulan: sudah siap diresmikan kapan saja Presiden SBY menghendaki.

Terminal bandara itu sangat membanggakan. Besarnya dua kali lipat dari bandara baru Surabaya. Inilah bandara dengan status bintang lima di Indonesia, setingkat lebih tinggi dari Bandara Kualanamu Medan yang sudah banyak dipuji itu.

Dari Balikpapan, saya menghubungi Dirut PT Angkasa Pura I Tommy Soetomo yang baru menjalani transplantasi ginjal di RSCM Jakarta dengan sukses itu. Saya memberikan pujian yang tinggi kepadanya.

Hampir tidak ada koreksi sama sekali dari saya. Kecuali hal-hal yang amat kecil. Saya terus memuji direksi Angkasa Pura I dan seluruh timnya. Saya juga memuji kontraktornya, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk dan PT Adhi Karya (Persero) Tbk.

Kian banyak pengalaman kontraktor BUMN dalam membangun bandara. Ini akan menjadi modal penting dalam peningkatan daya saing kita di bidang tersebut di dunia internasional.

Dulu penumpang dari Jakarta akan merasa kaget ketika mendarat di Balikpapan: betapa ketinggalannya Bandara Sepinggan. Kini, penumpang dari Balikpapan yang mendarat di Jakarta justru yang kaget: betapa ketinggalannya Jakarta.

Tentu ini hanya sementara. PT Angkasa Pura II (Persero) juga lagi membangun terminal 3 yang modern dan amat besar. Untuk menggambarkan besarnya terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta itu, cukup saya sebutkan ini: jumlahkan luas terminal 1, terminal 2, dan terminal 3 existing, masih akan kalah luas dengan satu terminal 3 yang baru nanti.

Fokus berikutnya memang masih banyak: Bandara Pontianak, Jogja, Bandung, Banjarmasin, dan Semarang. Empat bandara itu memang sudah tidak layak.

Yang persiapannya juga sedang dikebut adalah pembangunan jembatan di atas laut terpanjang di Indonesia: di atas Teluk Balikpapan. Jembatan itu panjangnya lebih dari 12 km, akan lebih panjang daripada jalan tol di atas laut di Bali.

Tingkat kesulitannya juga lebih tinggi: melintasi laut yang lebih dalam. Harus ada bentang bebas pilar sampai 400 meter. Juga, harus ada dua bentang lagi yang panjangnya masing-masing melebihi 200 meter. Jembatan itu akan menghubungkan Kota Balikpapan dengan Kota Panajam dan sekaligus menghubungkan Kaltim dengan Kalsel.

Persiapan perencanaan proyek itu baru dilakukan tiga bulan lalu oleh PT Waskita Karya. Tentu bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Panajam Paser Utara, Pemerintah Kota Balikpapan, serta Pemerintah Provinsi Kaltim.

Berbagai urusan bisa dilakukan dengan cepat. Minggu lalu menteri pekerjaan umum sudah mengeluarkan persetujuan untuk Waskita Karya sebagai inisiator proyek tersebut. Kami merencanakan, kalau bisa, Oktober nanti sudah dimulai pembangunan fisiknya.

Tentu, saat itu nanti, saya sudah tidak menjabat menteri. Tapi, Gubernur Kaltim Awang Faroek akan bisa melakukannya. Jangan sampai molor.

Tidak perlu urusan-urusan politik pergantian pemerintahan mengganggu program sepenting itu. Apalagi kami merencanakan jembatan di atas laut tersebut bisa selesai dalam waktu hanya 30 bulan.

Memang masih ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan sejak hari ini sampai Oktober nanti: paparan ke DPRD Balikpapan dan Panajam serta penetapan RTRW dan amdal. Tapi, gubernur Kaltim sangat antusias dengan proyek tersebut. Beliau menjamin dua hal itu selesai sebelum Oktober. Itu yang beliau sampaikan kepada saya Jumat lalu.

Saya jadi teringat jalan tol di atas laut di Bali. Tidak mungkin jalan tol tersebut bisa diselesaikan secepat itu kalau Gubernur Bali Mangku Pastika tidak antusias.

Keberhasilan membangun jalan tol di atas laut di Bali itulah yang memberikan rasa percaya diri yang luar biasa bagi bangsa ini. Terutama bagi BUMN bidang konstruksi. Membangun daya saing bangsa harus dilakukan dengan cara-cara seperti ini. Di semua bidang. Tidak bisa dilakukan hanya dengan pidato-pidato atau seminar-seminar.

PT Waskita Karya (Persero) Tbk sendiri, di bawah Dirut M. Choliq, menjadi contoh restrukturisasi perusahaan yang fenomenal. Tiga tahun lalu Waskita masih berstatus perusahaan sakit. Masih opname di bawah pengawasan PPA.

Inilah penyembuhan perusahaan yang sangat cepat. Tidak sempat ribut-ribut karena tidak ada surat-surat yang bocor di tahap awalnya!

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Memperjuangkan Impian, Menitipkan Harapan

Memperjuangkan Impian, Menitipkan Harapan
Sabtu, 31 Mei 2014

Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat telah berakhir. Dan
alhamdulillah, saya ditetapkan sebagai pemenangnya.
Walaupun tahapan konvensi hanya berhenti di situ. Tak bisa
lanjut ke tahap berikutnya. Takdir berkata lain. Perolehan
suara Partai Demokrat tak memungkinkan mengusung
capres. Koalisi dengan partai lain pun gagal terbentuk. Tidak
mengapa. Inilah takdir yang harus kita terima.

Konvensi Partai Demokrat bagaimanapun juga harus tetap
kita apresiasi. Hal itu menjadi penambah warna dalam
demokrasi Indonesia. Tahun ini hanya Demokrat yang
menggelar konvensi terbuka. Sebuah langkah maju bagi
demokrasi, walaupun hasilnya belum sesuai harapan.

Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada seluruh Relawan Dahlan Iskan
(ReDI) yang telah membantu banyak hal, pada semua
pendukung yang mengantarkan pada perolehan rating
tertinggi dalam konvensi. Bagaimanapun juga kerja keras
selama proses konvensi telah berhasil. Dengan ketetapan
saya sebagai pemenangnya. Para relawan tak perlu kecewa.

Masyarakat telah mengetahui realitas dan konstelali politik
yang ada. Banyak tanggapan. Ada yang mengatakan bahwa
konvensi antiklimaks. Ada yang bilang saya jadi cawapres
saja. Tapi yang paling banyak adalah pertanyaan “Pak,
setelah gagal nyapres lalu bagaimana?”

Saya tersenyum mendengar pertanyaan ini.

Sudah berkali-kali saya katakan bahwa nyapres bagi saya
bukanlah ambisi. Ingin, iya. Tapi bukan yang harus dikejar
dengan mati-matian. Masih banyak cara mengabdi di negeri
ini selain dengan nyapres.

Seperti yang sering saya katakan, yaitu dengan; Kerja! Kerja!
Kerja!

Apa pun kata orang jangan terlampau dipedulikan. Buktikan
saja dengan kerja. Itu yang saya lakukan selama ini. Dari
dulu hingga sekarang sebagai menteri.

Sebenarnya ada tiga pilihan bagi saya saat ini. Pilihan yang
harus saya renungkan dengan baik. Pilihan ini tidak hanya
berkonsekuensi bagi saya pribadi, tapi juga bagi Indonesia.

Pertama, berhenti. Artinya, ya, sudah. Cukup. Berhenti saja
dan menjadi penonton pertarungan dua capres yang ada.
Kedua, berhenti sebentar lalu lanjut lagi. Tahun ini mungkin
tidak bisa nyapres. Tunggu lima tahun lagi. Ketiga, pada
tahun ini menitipkan harapan dan cita-cita kepada orang
yang kita yakini mampu mengembannya.

Seorang manusia diingat bukan karena wajahnya. Tapi
karena ide, cita-cita dan gagasannya. Manusia yang tanpa
punya cita-cita mudah dilupakan. Orang yang telah lama
tiada bisa jadi abadi karena idenya dikenang. Diwariskan
pada generasi selanjutnya. Berusaha untuk diwujudkan.

Saya juga punya cita-cita bagi negeri ini. Sebuah harapan
untuk kemajuan bangsa. Sewaktu mengikuti konvensi saya
uraikan hal itu dengan panjang lebar. Juga dengan langkah-
langkah mencapainya. Dan sangat mungkin untuk dilakukan.

Saya selalu mengatakan bahwa Indonesia harus melakukan
pengamanan energi jangka panjang. Energi merupakan faktor
vital yang dapat mempengaruhi kondisi ekonomi, sosial
bahkan politik. Ketergantungan atas BBM perlu dicarikan
alternatifnya. Ini perlu political will yang kuat dalam
pengembangan teknologi dan penerapan kebijakan. Semua
negara maju telah melakukan langkah ini. Saya juga bercita-
cita dalam lima tahun ini Indonesia mampu menjadi negara
terbesar nomor 9 di dunia. Menurunkan indeks Gini dari 4,2
menjadi 3,4 agar kesejahteraan lebih merata. Serta
menaikkan ranking MDG’s.

Sebuah cita-cita harus diwujudkan. Kalau itu demi bangsa
harus dikerjakan. Lewat tangan siapa pun. Kalau tak bisa
dikerjakan sendiri, minta tolong orang lain untuk membantu
mengerjakan. Oleh karena itulah, tak ada pilihan berhenti.
Pilihan pertama sudah gugur. Tinggal dua pilihan, berhenti
untuk mengambil jeda atau menitipkan cita-cita pada orang
lain.

Saya lebih memilih untuk menitipkan cita-cita pada orang
lain. Pada orang yang kita percayai. Pada orang yang
menurut kita mampu untuk melaksanakannya. Dan saya
memilih itu. Karena bagi saya, terwujudnya cita-cita itu lebih
penting dari sekadar duduk di posisi itu. Kewenangan tidak
untuk dinikmati, tapi dibuktikan dengan kerja. Kerja harus
merupakan perwujudan cita-cita.

Tahun ini kita semua dihadapkan pada pemilihan presiden.
Dengan dua pasangan calon, yaitu Joko Widodo-Jusuf Kalla
dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Saya lebih memilih untuk menitipkan cita-cita pada orang
lain. Ini piihan. Sebuah keputusan yang saya ambil. Pilihan
ini saya ambil karena saya tak mau berhenti bekerja. Saya
tidak mau “jeda” kalau itu urusan bangsa dan negara.
Jangan jadi penonton, tapi lakukan sesuatu. Kerjakan
sesuatu. Inilah motto hidup yang saya pegang selama ini.

Saya tidak memaksa untuk mengikuti pilihan saya, terutama
untuk para relawan. Perbedaan pendapat bukanlah akhir dari
sebuah hubungan. Hubungan baik yang sudah terjalin selama
ini jangan sampai retak hanya persoalan selisih pendapat.
Yang paling penting adalah cita-cita yang kita emban
bersama. Dimanapun pilihan itu dijatuhkan, pastikan cita-
cita itu diwujudkan.

Kerja! Kerja! Kerja!
Dahlan Iskan

ROTFL yang Terjadi setelah ‘Ngamen’

ROTFL yang Terjadi setelah ‘Ngamen’
Senin, 02 Juni 2014
Manufacturing Hope 130

Sudah dua minggu ini kami berdebar-debar. Teruskah? Ditolakkah? Disetujuikah? Tim kami bekerja keras untuk itu. Sepotong e-mail kemudian muncul tiga hari lalu: setuju!

Horeeee. Rasanya kami semua ROTFL!

Yang kami tunggu adalah ini: apakah perusahaan Amerika Serikat (AS) itu menyetujui kerja sama dengan BUMN untuk satu hal yang amat strategis. Yakni bersama-sama mengolah neutron menjadi produk kedokteran nuklir dan akhirnya kelak juga mengolahnya menjadi listrik.

Tim BUMN dipimpin Direktur Utama PT Inuki (Persero) Dr Ir Yudiutomo Imardjoko. Inuki adalah kependekan dari Industri Nuklir Indonesia, nama baru untuk PT Batan Teknologi.

Tim itu dibantu pimpinan PT INACA, anak perusahaan PT Dirgantara Indonesia di AS. Lalu diperkuat Direktur Utama PT Bahana (Persero) Dwina S. Wijaya beserta anak buahnya. Bahana adalah BUMN yang bergerak di bidang keuangan.

“Kami sangat beruntung bisa mendapat persetujuan dari perusahaan di AS ini,” ujar Yudiutomo yang ahli nuklir lulusan UGM dan ahli sampah nuklir lulusan AS.

Beruntung? Saya tidak setuju dengan kata-katanya itu. Itu bukan karena beruntung. Itu hasil dari sebuah totalitas usaha. Itu buah dari gabungan antara “keahlian, kerja keras, pantang menyerah, antifrustrasi, tekun, telaten, diiringi dengan jalan yang penuh keprihatinan”.

“Jalan penuh keprihatinan” saya masukkan di situ karena semua itu awalnya dari sikap prihatin. Prihatin karena reaktor nuklir di Serpong yang sudah tua itu sering rusak sehingga tidak bisa memproduksi neutron secara kontinu.

Prihatin karena reaktor itu milik lembaga negara, Batan, yang itu di luar wewenang BUMN untuk ikut mengatasi. Apalagi, PT Inuki sendiri baru saja keluar dari kesulitan keuangan yang amat panjang. Sampai-sampai Inuki harus bekerja sama dengan Mesir untuk jaga-jaga kalau reaktor Batan yang di Serpong terus mengalami gangguan.

Prihatin karena Inuki sudah telanjur mengikat kontrak untuk ekspor radioisotop ke berbagai negara yang tidak mampu membuatnya seperti Singapura, Malaysia, dan beberapa negara lainnya.

Prihatin karena membayangkan rumah-rumah sakit akan mengalami krisis radioisotop akibat tidak cukupnya bahan baku berupa neutron itu. Padahal, ilmu kedokteran sekarang sudah amat terikat dengan radioisotop untuk proses MRI dan pendeteksian berbagai penyakit.

Saya pun sempat memutuskan untuk membangun reaktor nuklir yang akan dimiliki Inuki sendiri. Apalagi, kemajuan teknologi nuklir sudah amat berbeda dengan zaman reaktor Serpong itu dibangun 30 tahun lalu.

Menurut Yudiutomo, dirinya bisa membangun reaktor yang ukurannya hanya seperlima dari yang ada di Serpong, tapi memiliki kemampuan produksi 20 kali lipatnya. Tapi, untuk mempersiapkan itu, Yudiutomo dan timnya harus mondar-mandir ke AS, Rusia, dan Eropa. Padahal, perusahaannya tidak punya uang untuk keperluan itu.

Sebagai perusahaan kecil yang baru hidup lagi, uangnya hanya pas-pasan untuk mempertahankan operasinya sehari-hari. Tidak boleh ada biaya perjalanan yang bisa mengganggu kelancaran operasi perusahaan.

Tapi, cita-cita tidak boleh kandas. Harus ada cara untuk mencapainya. Biarpun harus lewat jalan yang berliku. Untuk itu tim Inuki harus “ngamen” lebih dulu.

Kebetulan BUMN memiliki program pengentasan kemiskinan di NTT melalui tanaman sorgum. Para ahli Inuki harus mau jadi penyuluh lapangan, tinggal di NTT beberapa bulan, dan membina anak-anak SMK setempat menciptakan mesin-mesin sederhana pengolahan sorgum.

Untuk itu mereka mendapatkan “upah”. Memang tidak besar, tapi bisa untuk ke Amerika. Hasil dari “ngamen” inilah yang dipakai membeli tiket untuk pergi ke sana melakukan penjajakan kerja sama membangun reaktor.

Saya sebenarnya tidak tega untuk minta para ahli yang langka itu harus “ngamen” sampai ke NTT. Tapi, saya juga percaya tidak ada jalan mudah untuk mencapai cita-cita. Saya tidak bisa memerintahkan menggunakan dana perusahaan di luar yang sudah ditentukan.

Saya juga tidak mau minta sumbangan ke BUMN lain yang besar-besar. Karena saya tahu tidak ada pos pengeluaran untuk yang demikian.

Maka, saya salut dengan tim Inuki yang mau menempuh jalan berliku ini. Sekalian tes ketahanan, pikir saya. Untuk mengejar kemajuan, harus bersedia bekerja seperti itu.

Inilah yang saya sebut “jalan keprihatinan”. Jalan itu, kalau bisa ditempuh dengan tulus, justru akan menjadi pendorong untuk tercapainya cita-cita. Ia menjadi semacam “tenaga dalam” yang memang tidak kelihatan, tapi bisa menjadi faktor utama tercapainya sebuah sukses.

Dari beberapa perjalanan ke AS, Rusia, dan Eropa itulah, akhirnya Yudiutomo menemukan sesuatu yang ternyata jauh di atas sebuah reaktor nuklir. Dia berhasil mengetahui sebuah penemuan yang masih sangat baru. Belum banyak yang tahu: untuk memproduksi neutron, tidak harus membangun reaktor nuklir! Bisa melalui fusi plasma!

Dia sendiri, sebagai anggota aktif asosiasi ahli nuklir dunia, tidak menyangka ada penemuan sehebat dan semaju itu. Memang pernah diramalkan ilmu pengetahuan akan sampai di sana. Tapi, menurut perkiraan para ahli, hal itu baru akan terjadi tahun 2050!

Setelah tahu perkembangan baru itu, target pun diubah. Bukan lagi membangun reaktor baru, melainkan bagaimana bisa menggandeng perusahaan penemu tersebut. Tapi, apa mungkin?

Yudiutomo punya kelebihan dibanding calon partner lainnya dari seluruh dunia. Dia punya keahlian untuk memproses neutron itu menjadi radioisotop dengan proses yang diizinkan kesepakatan dunia. Yakni sebuah proses yang tidak membahayakan dunia karena tidak memungkinkan berubah menjadi senjata nuklir.

Di seluruh dunia, hanya putra Indonesia Yudiutomo yang bisa melakukan itu. Perusahaan Amerika itu pun tidak bisa melakukannya. Yudi memang satu-satunya ahli nuklir di dunia yang mampu memproses neutron dan uranium dengan sistem yang tidak memungkinkan bahan itu menjadi senjata nuklir.

Tapi, perjuangan tentu tidak mudah. Bagaimana bisa sebuah BUMN Indonesia mengajak kerja sama penemu yang begitu hebat di Amerika. Berkali-kali saya rapat dengan Inuki dan Bahana merumuskan strateginya.

Alhamdulillah, setelah berbagai pertemuan dan diskusi (langsung maupun via e-mail) dilakukan antarnegara, tiga hari lalu jawaban itu tiba: pihak Amerika setuju. Perincian kerja samanya juga sudah disertakan.

Tanggal 16 Juni mendatang, setengah bulan lagi, penandatanganan dilakukan di Madison, Wisconsin, AS. Saya sengaja belum tuliskan banyak detail di sini karena untuk itu akan ada waktunya sendiri.

Saya benar-benar tidak setuju jika ini disebut sebuah keberuntungan. Saya lebih setuju dengan Paulo Coelho yang dalam novel-novel spiritualnya menyiratkan, justru keberuntunganlah yang selalu mencari-cari orang yang bersedia dicipratinya. Tapi sayangnya, “ia” hanya mau mencipratkannya kepada orang-orang yang kuat berjalan jauh dengan totalitas dan ketulusan penuh untuk mendatanginya! (*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Di Bungamayang Lengan Itu Tergores

Di Bungamayang Lengan Itu Tergores
Senin, 09 Juni 2014
Manufacturing Hope 131

Setelah meninjau pembangunan kapal-kapal TNI-AL di PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero) atau PT DKB Selasa lalu, besoknya saya ke Lampung Utara. Yakni setelah sidang kabinet. Saya ingin segera melihat hasil pembaharuan yang dilakukan manajemen Pabrik Gula (PG) Bungamayang di lingkungan PTPN VII (Persero).

Kapal-kapal TNI-AL yang saya tinjau itu sendiri tidak ada pilihan lain. Harus bisa diperagakan pada HUT TNI tanggal 5 Oktober depan. Secara teknis hampir tidak ada persoalan.

Kapal sudah hampir jadi. Tapi, karena dana pembangunan kapal ini berasal dari APBN, ada saja persoalan kelambatan pencairannya. Padahal, peralatan-peralatan yang harus diimpor tidak akan dikirim kalau belum ada pembayaran. Seperti alat navigasi untuk pendaratan helikopter di kapal itu.

Maka, saat peninjauan, dalam rapat di ruang kemudi yang lagi dicat di tingkat 5 kapal itu, saya putuskan untuk mencari terobosan. Cari bridging: pinjaman ke bank BUMN. Tidak perlu ribut. Cekcok hanya akan bikin proyek lebih terlambat. Bank Mandiri setuju. Biarlah DKB menanggung bunga bridging asal proyek bisa selesai. Dengan demikian, DKB bisa merebut kepercayaan untuk mendapat order-order pembuatan kapal berikutnya.

Kalau di DKB harus banyak memeras otak, tiba di Lampung Utara, semuanya serba menyenangkan. Saya lihat program-program pembaharuan PG Bungamayang berjalan baik. Bahkan sangat baik. Melebihi yang disepakati dua tahun lalu. Baik saat pembahasan di Surabaya, di Jakarta, di Semarang, maupun saat pembahasan dengan petani tebu di Lampung.

Agar tidak keburu magrib, Dirut PTPN VII Kusumandaru N.S. menawarkan untuk langsung meninjau kebun. Saya ambil alih kemudi jip agar saya bisa meninjau bagian mana saja yang saya kehendaki. Kebun ini sangat luas: 18.000 hektare (ha). Yang ditanami tebu saja 8.000 ha.

Karnoto, general manager (GM) PG Bungamayang, duduk di sebelah saya untuk menjelaskan semua pelaksanaan program. Terutama apa yang dilakukan agar produksi tebu bisa meningkat. Kalau bisa menjadi 100 ton per ha agar bisa sama dengan PG swasta di Lampung yang dikenal sebagai PG terbaik di Indonesia saat ini.

Perombakan utama yang dilakukan adalah: perubahan total sistem irigasi. Dari menyerah begitu saja kepada hujan menjadi sistem overhead irrigation atau yang juga biasa disebut sistem tornado. Untuk itu, Bungamayang harus membangun danau-danau kecil atau embung-embung besar di bagian-bagian terendah kebun tersebut. Dari situlah air disedot untuk dikirim ke mesin-mesin tornado besar yang secara otomatis menyemprotkan air secara berputar.

Perombakan lainnya: penetapan bibit yang tepat untuk panen awal, panen tengah, dan panen akhir. Yang juga penting adalah disiplin pemupukan: jumlahnya maupun hari pemupukannya. Intinya: disiplin, rajin, dan tepat.

Hasilnya luar biasa. PG BUMN tidak lagi malu oleh ejekan abadi: selalu jauh tertinggal dari swasta. PG Bungamayang di PTPN VII Lampung sudah bisa membuktikan tidak harus kalah dengan swasta.

Tahun lalu PG Krebet Baru dari grup PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) sebenarnya juga sudah membuktikan bisa mengalahkan swasta tetangganya di Malang. Belum pernah seumur hidupnya Krebet Baru bisa lebih baik daripada swasta. Hanya masih kalah dengan PG swasta yang di Lampung itu. Ini karena Krebet Baru tidak memiliki kebun sendiri. Tebunya 100 persen dari petani tebu di Malang.

Saya memang terus memacu mereka untuk bersaing secara all-out. Logikanya sederhana: kalau swasta bisa, mengapa BUMN tidak bisa? Kalau luar negeri bisa, kenapa kita tidak?

Saya mengucapkan terima kasih kepada manajemen PG Gunung Madu yang telah mengizinkan staf Bungamayang belajar di beberapa bidang. Hasilnya nyata: Bungamayang bisa menyamai Gunung Madu. Inilah prestasi terbaik PG itu sejak didirikan pada 1984.

Saat saya meninjau pabrik pun, semua staf mengatakan, “Sejak saya bekerja di sini, inilah prestasi terbaik.” Mereka mengatakan itu dengan sinar mata yang berbinar-binar.

Malam itu saya dan para pejabat eselon satu Kementerian BUMN tidur di mes pabrik. Usai makan malam saya manfaatkan untuk dialog dengan petani tebu. Para petani pun terbawa maju. “Sekarang kami sepenuhnya ikut sistem BUMN,” ujar Bambang Supran yang memiliki kebun tebu 5 ha dan kebun singkong 3,5 ha.

“Dulu kami menggunakan bibit yang kami sukai. Sekarang kami tanam bibit sesuai dengan yang diplot Bungamayang,” katanya.

Bambang dkk juga disiplin dan terjun sendiri ke kebun. “Lihat ini, Pak, tergores-gores,” katanya sambil menunjukkan lengannya yang penuh tanda kena goresan daun tebu.

“Goresan di lengan” itulah sebenarnya intinya: berkebun dengan sungguh-sungguh. Tidak hanya menonton dari jauh bagaimana tebu tumbuh sendiri. “Kebun kami sudah bisa menghasilkan 100 ton per hektare,” ungkap Bambang, petani yang juga sarjana pertanian itu.

Target bisa 100 ton per ha inilah yang akan jadi sasaran semua kebun tebu. Milik BUMN maupun petani yang kredit tanamannya dijamin PG milik BUMN. Caranya tidak bisa lain kecuali bibitnya harus unggul, irigasinya harus baik, pemupukannya harus tepat dan cukup, serta pemeliharaannya harus baik.

Dengan kesungguhan yang tinggi, pabrik akan menerima bahan baku tebu yang ideal. “Di Bungamayang kami sudah mencapai rendemen 9,1,” ujar Karnoto.

Dengan sukses di Bungamayang ini, mau tidak mau PG BUMN yang juga memiliki kebun sendiri harus bisa mencapai prestasi itu. Misalnya PG Cinta Manis di Sumatera Selatan, Jatiroto di Jawa Timur, dan Jati Tujuh di Subang (Jawa Barat). Tidak ada alasan lagi. Bungamayang bisa, berarti yang lain juga harus bisa.

Tanda ke arah sana sudah kelihatan. Bahkan, seperti PG milik RNI di Subang, karena tidak mungkin membangun embung dalam jumlah yang banyak (kebunnya hanya 4.000 ha dan tanahnya rata), RNI mencoba menggunakan drip irrigation. Seperti di Israel atau Jordania. “Tahun ini sudah 1.200 hektare yang menggunakan sistem irigasi air menetes,” kata Ismed Hasan Putro, Dirut RNI.

Hari itu, di bawah hujan renyai-renyai, saya lega meninggalkan Lampung Utara. (*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Tantangan Baru dari Empat Ruas Itu

Tantangan Baru dari Empat Ruas Itu
Senin, 16 Juni 2014
Manufacturing Hope 132

Tiga jam sebelum mendarat di New York Sabtu malam WIB, saya menerima SMS dari Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin. Agak panjang. Dilaporkan hasil rapat tentang pembebasan lahan jalan tol Palembang-Indralaya sebagai berikut.

Pertama, lahan Palembang-Pemulutan (7 km) telah tuntas pembebasannya. Kedua, lahan Poros (15 km) dan Exit (4 km) sedang dalam proses (pengukuran, sosialisasi, dan lain-lain). Pembayaran ganti rugi mulai bulan depan. Insya Allah tuntas bulan September. Ketiga, dengan penjelasan tersebut, saya mohon pekerjaan dapat dimulai tanggal 1 Juli 2014.

Saat itu juga, di atas ketinggian 12.000 km di atas udara Iceland langsung saya jawab: siaaaaap!

Hari itu, sepanjang penerbangan pesawat A380 dari Dubai ke New York selama 13 jam, saya bisa terus bekerja. Saya diskusikan persiapan pembangunan jalan tol Sumatera. Terutama empat ruas yang kelihatannya bisa segera dimulai.

Berita baik itu saya peroleh dari Menko Perekonomian Chairul Tanjung (CT). Dalam rapat dengan semua eselon satu Kemenko Perekonomian dan eselon satu Kementerian BUMN Kamis lalu, Pak CT menyampaikan bahwa menteri pekerjaan umum sudah setuju menunjuk PT Hutama Karya/HK (Persero) sebagai perusahaan yang akan mengerjakan empat ruas jalan tol Sumatera. Yakni: Medan-Binjai, Pekanbaru-Dumai, Palembang-Indralaya, dan Bakauheni-Tebanggi Besar.

“Saya tidak ada kepentingan dengan HK. Siapa pun yang ditunjuk saya setuju. Asal segera disetujui,” ujar Pak CT menirukan pembicaraannya.

Memang sejak hampir setahun lalu saya mengajukan PT HK untuk menangani proyek itu. Saya juga tidak mempunyai kepentingan apa-apa dengan BUMN yang satu ini. Bahwa saya mengajukan PT HK semata-mata karena tinggal perusahaan inilah satu-satunya BUMN Karya yang masih 100 persen milik negara. Yang lain-lain sudah go public.

Untuk yang sudah go public (Wika, Waskita, Adhi, dan PP), pemerintah tidak bisa menugasi begitu saja. Kalau ditugasi untuk mengerjakan proyek yang kurang menguntungkan, mereka bisa menolak. Padahal, empat ruas jalan tol tersebut belum layak secara komersial. Saya tentu tidak mengusulkan beberapa BUMN lain yang masih 100 persen milik negara (seperti Brantas Abipraya dan lain-lain) karena kelompok ini masih terlalu kecil untuk tugas berat tersebut.

Memang ada kelemahan HK yang membuat proses penugasannya ini berlarut-larut. Misalnya adanya peraturan yang mengharuskan pengelola jalan tol adalah perusahaan khusus jalan tol. Sedangkan HK adalah perusahaan kontraktor umum. Untuk kelemahan ini saya bisa selesaikan.

Meski kelihatannya sulit, bagi saya ini mudah sekali. Saya minta HK mengubah akta perusahaannya menjadi perusahaan jalan tol. Ini pekerjaan ringan. Satu minggu bisa selesai. Proyek-proyek non-tol yang selama ini menjadi bidang usaha HK diserahkan saja ke anak perusahaan. Beres.

Memang, di samping berita gembira itu, Pak Menko menyampaikan tantangan: bisakah tanpa APBN sama sekali. Saat itu juga langsung saya jawab: seharusnya bisa, karena itu akan saya usahakan.

Saya tahu jawaban saya itu kurang disukai manajemen PT HK. Perusahaan ini maunya dibantu APBN sebesar Rp 7 triliun. Bukan main gigihnya teman-teman HK berjuang untuk mendapatkan dana APBN.

Itu agak bertentangan dengan keinginan saya agar BUMN jangan minta-minta APBN. Selama dua tahun jadi menteri BUMN, saya selalu menolak untuk meminta penyertaan modal negara (PMN).

Kalau toh ada PMN selama dua tahun terakhir, itu bukanlah PMN dalam bentuk dana segar. Artinya, PMN itu hanyalah berupa pengesahan proyek negara di masa lalu yang setelah jadi proyeknya diserahkan ke BUMN. Saya istilahkan hal ini dengan PMN non-cash.

Seusai rapat dengan Pak Menko itu, saya langsung rapat-rapat dengan BUMN Karya, terutama dengan direksi HK. Saya juga minta saran dan pandangan BUMN Karya yang lain untuk bisa ikut gotong royong. Kami tahu APBN kita lagi sulit. Subsidi BBM begitu menyiksa keuangan negara. Karena itu, meminta dana APBN sangatlah tidak bisa diterima.

Jumat sore lalu, sambil berangkat ke bandara untuk menuju Dubai, saya bicarakan lagi membangun empat ruas tol itu tanpa APBN. Dirut PT Jasa Marga Tbk Adityawarman ikut urun rembuk.

Akhirnya ditemukan cara itu. Syaratnya, pemerintah daerah setempat benar-benar harus bisa membantu pembebasan tanahnya. HK sudah siap memulai kapan saja. Asal tanahnya sudah bebas.

Karena itu, dalam penerbangan dari Jakarta ke Dubai, saya hubungi berbagai pihak yang terkait dengan jalan tol ini. Termasuk Gubernur Alex Noerdin. Untunglah, di beberapa penerbangan internasional kini sudah disediakan fasilitas komunikasi SMS, e-mail, dan telepon. Hasil-hasil rapat Pak Alex di Palembang, misalnya, bisa saya ikuti selama penerbangan itu.

Demikian juga, saya bisa terus mendalami keinginan ahli ITB Dr Eman Kartasasmita untuk mengembangkan tanaman stevia yang akan diproduksi PT Kimia Farma Tbk. Dr Eman, dalam komunikasi SMS dan e-mail selama penerbangan ini, menyebutkan bahwa dirinya ingin mengembangkan zat pemanis yang bisa 24 kali manisnya dari gula.

Minggu ini, selama saya berada di AS, Maroko, dan Aljazair, direksi HK sudah harus merumuskan langkah dan strategi mengerjakan empat ruas jalan tol Sumatera itu tanpa APBN.(*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Pengakuan Wisconsin dari Greg untuk Masa Depan Inuki

Pengakuan Wisconsin dari Greg untuk Masa Depan Inuki
Senin, 23 Juni 2014
Manufacturing Hope 133

Kita tentu akan terus ingat pelajaran sekolah mengenai “benda” yang hanya terdiri atas tiga jenis: benda padat, benda cair, dan benda gas. Contoh perubahan bentuk benda pun kita masih ingat. Contohnya air: didinginkan menjadi benda padat (es), dipanaskan jadi benda gas (uap), dibiarkan tetap jadi benda cair (air).

Belakangan ahli fisika menemukan jenis benda yang tidak masuk padat, cair, atau gas. Namanya: plasma.

Ahli fisika juga yang menemukan hal paling baru ini: D3 dan H2O yang diproses melalui fusi plasma menghasilkan neutron. Inilah penemuan terbaru yang semula diperkirakan baru terjadi tahun 2050: untuk memproduksi neutron tidak perlu lagi proses di reaktor nuklir.

Saya mendapat kesempatan untuk melihat penemuan baru berupa generator neutron itu Rabu lalu. Lokasinya di Madison, Wisconsin, hanya lima menit dari kampus Universitas Wisconsin yang terkenal itu. Tentu saya ke situ bersama Dirut PT Industri Nuklir Indonesia (Inuki) Dr Yudiutomo Imardjoko, Dirut PT Bahana (Persero) Dwina S. Wijaya, Dirut PT IPTN North America (INA) Gautama Indra Djaja, dan Konsul RI di Chicago Andriana Supandy.

Generator neutron itu memang benar-benar baru. Baru jadi. Namun sudah dicoba dan terbukti berhasil memproduksi neutron. Alat inilah yang akan diboyong ke pabrik yang bakal dibangun bersama oleh Shine Corporation dan PT Inuki (Persero).

Sehari sebelumnya, di Washington DC, Yudi dan Gregory Pefier (CEO Shine yang juga penemu generator neutron itu) menandatangani MoU kerja sama tersebut. Upacara dilakukan di gedung Kedutaan Besar Indonesia. Dubes kita Budi Bowoleksono menjadi tuan rumahnya.

Sambutan Greg begitu melegakan saya. Isi sambutannya berupa pengakuan akan kemampuan dan kapasitas orang-orang kita di bidang ini. Dia menyebutkan, kerja sama Amerika Serikat (AS)-Indonesia ini benar-benar didasarkan pada keunggulan masing-masing partner. Ini tentu membanggakan. Sebuah kerja sama yang dasarnya saling memerlukan.

Shine memang sudah mampu memproduksi neutron dengan penemuannya itu. Namun, Shine memerlukan Inuki untuk bisa membuat neutron tersebut menjadi isotop. Shine memang mencoba juga untuk membuat isotop dari neutronnya itu, namun sampai sekarang belum berhasil. Greg juga menunjukkan kepada saya alat-alat uji coba yang belum bisa menghasilkan isotop tersebut.

Isotop adalah cairan yang sangat diperlukan para dokter, yakni untuk mendeteksi kanker dalam tubuh pasien. Cairan isotop itulah yang dimasukkan dalam tubuh saat seorang pasien menjalani MRI (pencitraan resonansi magnetik). Dari cairan itu akan diketahui apakah ada kanker atau penyakit lain di dalam tubuh pasien.

Selama ini sudah banyak negara yang mampu membuat isotop. Yakni dengan cara “menabrakkan” neutron dengan uranium, dengan cara-cara tertentu. Tapi, yang memprosesnya dengan metode low-enrichment, baru Inuki yang mampu melakukannya. Negara-negara lain masih menggunakan metode high-enrichment.

Padahal, high-enrichment itu akan dilarang. Mengapa” “Karena punya potensi untuk menjadi senjata nuklir,” ujar Yudiutomo, lulusan Fakultas Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada yang meraih doktor nuklir di AS.

Yudi adalah penemu metode low-enrichment. Cara ini tidak memungkinkan bisa menghasilkan senjata nuklir. Yudi menjadi sangat terkenal di masyarakat nuklir dunia karena penemuannya itu. Dia juga terkenal karena penemuan lainnya dalam sistem penyimpanan sampah nuklir.

Penemuan-penemuan itulah yang membuat perusahaan AS seperti Shine ini memilih Inuki sebagai partner strategisnya. Apalagi, seperti dikatakan Greg dalam sambutannya, Kanada akan menutup reaktor nuklirnya pada akhir 2016. Reaktor itu dianggap sudah sangat tua. Akibatnya, Kanada tidak akan bisa lagi memasok isotop untuk rumah sakit di Amerika. Padahal, keperluan isotop di AS begitu besar.

Realisasi kerja sama Shine-Inuki ini sangat ditunggu. “Pemerintah AS mengamati dari dekat kerja sama ini dan memberikan dukungan yang kuat,” ujar James L Connaughton, penasihat Shine yang juga executive vice president C3 Energy.

Karena itu, proyek pertama kerja sama tersebut akan dibangun di AS. Proyek keduanya nanti di Indonesia. Shine juga setuju proyek-proyek selanjutnya di negara lain di seluruh dunia akan tetap ditangani berdua.

Isotop memang harus diproduksi di dekat penggunanya. Ia tidak bisa dikirim dari lokasi yang jauh karena kemampuan radiasi isotop akan habis “menguap” dalam waktu beberapa jam saja.

Di Indonesia, bagi Inuki, bisnis isotop memang tidak mudah. Apalagi, itu menjadi satu-satunya bisnisnya. Kalau tidak ada pengembangan seperti kerja sama dengan Shine ini, kondisinya akan terus menjadi perusahaan kecil seperti sekarang. Bahkan akan menjadi lebih sulit karena Inuki sangat bergantung pada reaktor yang ada sekarang.

Bagi Inuki, kerja sama ini seperti sebuah pilihan yang mutlak: berbuat atau mati. Janganlah terus dalam kondisi sulit seperti sekarang ini. Sayang kalau kehebatan SDM-nya terbatasi oleh lingkup usaha yang amat terbatas dan amat kecil itu.

Karena itu, saya minta tim Inuki-Bahana-INA bertahan dua hari di Madison meneruskan diskusi-diskusi sampai detail dengan Greg dan timnya. Saya sendiri segera ke Milwaukee untuk ke Maroko dan Aljazair via New York.

Saya mengincar sesuatu yang jauh dari isotop: energi! Tahap berikut dari pemanfaatan neutron itu adalah untuk tenaga listrik. Inilah kebutuhan kita yang sangat nyata saat ini dan masa depan. Meski mungkin tidak sempat menangani sendiri realisasi proyek ini, semua pihak tentu sudah menyadari urgensi dan strategisnya persoalan ini. (*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Berhalo-halo Bandung untuk Ekspansi ke Aljazair

Berhalo-halo Bandung untuk Ekspansi ke Aljazair
Senin, 30 Juni 2014
Manufacturing Hope 134

Akhirnya dua perusahaan BUMN berhasil masuk ke Aljazair. Sebuah negeri yang begitu bangga pada Indonesia. Juga pada Bung Karno. Dan tentu kini juga bangga pada sepak bolanya. Negeri asal usul Zinedine Zidane ini untuk pertama kalinya berhasil masuk babak 16 besar Piala Dunia. Dua BUMN itu adalah PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau Wika dan PT Pertamina (Persero).

Aljazair lebih muda daripada Indonesia. Negeri di Afrika Utara ini merdeka dari Prancis tahun 1956. Indonesia dianggap berjasa karena kemerdekaan itu terjadi hanya setahun setelah tokoh-tokoh perang kemerdekaannya menghadiri KTT Asia-Afrika yang diselenggarakan Bung Karno di Bandung.

Utusan Aljazair ketika itu adalah Hocine Ait Ahmed dan M’hammed Yazid. Ada satu tokoh lagi bernama Chedli Mekki yang ngotot ingin hadir. Setelah terjadi tarik-menarik kecil, akhirnya disepakati tiga-tiganya jadi utusan resmi dengan Ketua Delegasi Hocine Ait Ahmed. Prancis marah. Bung Karno diprotes keras karena memosisikan Aljazair sebagai negara merdeka.

Di Bandung pada 1955 itulah gerakan menuntut kemerdekaan dimantapkan. Tiba kembali di Aljazair, mereka menetapkan kota di Pegunungan Batna sebagai pusat revolusi pembebasan. Kota Batna kira-kira 500 km di timur Aljir, ibu kota Aljazair. Itulah sebabnya, Batna ditetapkan sebagai kota perjuangan.

Wika kini membangun highway menuju arah timur negeri itu. Dengan highway baru ini, jarak dari ibu kota ke Konstantin, kota terbesar kedua di Aljazair, bisa ditempuh dalam tiga jam. Padahal, jaraknya seperti Jakarta”Semarang.

Baru di jalan inilah saya merasakan naik mobil dengan kecepatan 180 km per jam. Kemulusan, kelapangan, dan kelonggaran lalu lintasnya memang memungkinkan kendaraan dipacu maksimal. Jalan dua arah ini masing-masing tiga lajur. Mirip jalan dari Makkah ke Madinah. Tidak perlu bayar tol.

Memang tidak semua dibangun Wika. Tapi, justru itu kita bisa membandingkan kualitasnya. Sebagian ruas dibangun kontraktor Tiongkok dan sebagian lagi kontraktor lokal. Tapi, pejabat yang kompeten di Aljazair mengatakan kepada saya: yang dibangun Wika-lah yang terbaik.

Penilaian yang membanggakan itu saya umumkan saat saya bertemu seluruh pekerja Wika di base camp mereka, di tengah-tengah padang perbukitan yang luas antara Aljir dan Konstantin. Mereka yang umumnya dari Jember, Wonosobo, Cilacap, Bandung, dan Cirebon bertepuk tangan. Jumlah pekerja dari Indonesia sampai 1.200 orang.

Dengan reputasi yang begitu bagus, Wika akan terus dapat proyek di sana. Dan kian panjang pula daftar pengalaman Wika di negara-negara Arab. Stasiun monorel di tengah Kota Dubai itu Wika yang membangun.

Bahkan, Wika pernah membangun mal di Tripoli, ibu kota Libya. Namun, ketika mal itu hampir tuntas, meletuslah revolusi rakyat untuk menjatuhkan Presiden Muammar Qaddafi. “Kami sudah diminta kembali menyelesaikan mal itu, tapi kami tunggu dulu kapan Indonesia membuka kembali kedutaan di Tripoli,” ujar Bintang Perbowo, Dirut Wijaya Karya.

Hari itu, meski hanya satu malam di Aljazair, saya memilih bermalam di Kota Konstantin. Pukul 21.00 kami baru tiba di kota itu. Langsung makan kambing arab dan nonton pertandingan sepak bola di TV sampai pukul satu dini hari. Maklum, sepak bola Aljazair lagi naik daun. Habis subuh kami menyusuri jalan yang sama kembali ke Aljir.

Meski memakan waktu tiga jam, perjalanan ini tidak melelahkan. Di samping karena jalannya sangat mulus, Dubes kita di Aljazair Ahmad Niam Salim yang mendampingi saya ahli bercerita. Mulai kondisi di Aljazair, praktik-praktik keagamaan mazhab Maliki yang dianut di Aljazair, sampai ke humor-humornya yang segar. Khas ulama muda NU yang cerdas. Dia memang diplomat nonkarir. Dia pengurus DPP PKB.

Saya, yang seperti umumnya orang Indonesia termasuk bermazhab Syafii, bisa banyak bertanya mengenai penganut Maliki. Sebagai orang yang juga pernah hidup di tengah-tengah muslim bermazhab Hambali di Tiongkok dan Asia Tengah, pengetahuan saya tentang mazhab Maliki menjadi lebih hidup. Tentu saya berterima kasih kepada Pak Niam Salim. Pak Dubes ini berperan besar dalam membantu BUMN masuk ke Aljazair.

Di Aljazair inilah untuk pertama kalinya Indonesia tercatat memiliki ladang minyak di luar negeri. Sudah lama Pertamina berusaha masuk ke Vietnam, Malaysia, Iraq, dan Venezuela. Namun, sulitnya bukan main. Baru di Aljazair inilah menjadi kenyataan yang benar-benar nyata. Maka, kalau selama ini kita kebanjiran perusahaan minyak asing, kini kita mulai menjadi perusahaan minyak asing di negeri orang.

Saya bersyukur Pertamina berhasil masuk Aljazair. Lebih bersyukur daripada, misalnya, waktu itu berhasil masuk Venezuela. Rasanya kita akan lebih mantap berusaha di Aljazair ini, antara lain, karena adanya hubungan sejarah yang lebih dalam dengan Indonesia. Orang-orang Aljazair merasa bersaudara dengan Indonesia.

Dari Konstantin saya langsung ke kantor Pertamina. Semula saya tidak ingin memberitahukan kedatangan saya ini. Namun, karena Sabtu itu hari libur, saya khawatir kantornya tutup. Maka, begitu mendarat di Aljir dari Kasablanka, Maroko, saya memberi tahu mereka.

Ternyata, meski Sabtu, kantor Pertamina di Aljir ramai sekali. Kebetulan Dirut PT Pertamina Aljazair, anak perusahaan Pertamina yang dibentuk khusus untuk usaha di sana, Djoko Imanharjo lagi berkunjung ke Aljir. Vice President yang juga Country Manager Eko Rukmono dan semua manajer lapangan juga lagi kumpul. Rupanya mereka mau rapat. Mengingat besarnya simpati pemerintah Aljazair kepada Indonesia, tak ada salahnya Pertamina menjadikan Aljazair basis pengembangan untuk kawasan Arab dan sekitarnya.

Dari kunjungan ini saya menangkap suasana kebatinan yang mantap untuk memperkukuh pijakan kita di Aljazair. Wika sudah hampir merampungkan proyek pertamanya. Ini nyata. Pertamina sudah benar-benar mulai mengoperasikan ladang minyaknya. Ini juga nyata. Bahkan, Pertamina sudah tiga kali mengapalkan hasil minyak mentahnya dari Aljazair dengan total hampir 1 juta barel.

Semangat Bandung rasanya bisa terwujud nyata di sini. Baik partner Wika maupun partner Pertamina sangat emosional. Setiap kali berkunjung ke Indonesia, mereka selalu minta diantar ke Bandung. Mereka ingin tahu gedung KTT Asia-Afrika.

“Sampai-sampai saya malu. Saya sendiri belum pernah masuk gedung itu,” ujar seorang manajer Pertamina. “Ketika mengantar mereka, saya terperangah. Mereka sampai sujud di dalam gedung itu. Mereka berdoa seperti tidak habis-habisnya bersyukur. Mereka tahu di kursi mana pemimpin mereka duduk dan posisinya di sebelah siapa dari negara mana.”

Saat terbang meninggalkan Aljazair, saya tercenung. Kita harus lebih serius. Pembangunan di Aljazair begitu banyak. Setiap kota lagi membangun kota baru. Aljir sendiri sedang membangun water front city yang baru. Ini akan jadi bagian kota yang paling indah.

Di situ juga lagi dibangun masjid yang akan menjadi yang terbesar dan terindah di Aljazair. Dan yang membangun adalah: kontraktor dari Tiongkok. Selamat berjuang, Pak Bintang!

Pertamina juga sudah kian tahu begitu banyak ladang minyak baru di Aljazair. Selamat berjuang, Bu Karen! Anda berdua bisa berhalo-halo Bandung di sana! (*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

 

Artikel :

Artikel :

Artikel :