Saturday 10 May 2014

Gotong Royong untuk 86,4 Juta Orang Miskin

Gotong Royong untuk 86,4 Juta Orang Miskin
Senin, 21 Oktober 2013

Pagi ini di Sukabumi seluruh direktur utama BUMN berkumpul. Di Sukabumi mereka membubuhkan tanda tangan pertanda ikut gotong royong. Mengikutkan seluruh karyawan dan keluarga mereka ke program BPJS Kesehatan.

Bapak Presiden SBY hadir di acara ini. Beliau tidak hanya menyaksikan. Beliau ingin program bersejarah yang terjadi di era kepemimpinan beliau ini sukses.

BPJS memang akan mengubah sistem jaminan kesehatan nasional. Tahun pertama baru menyangkut 86,4 juta orang. Tapi, inilah dasar yang kukuh untuk sistem kesehatan negara modern nanti.

Karyawan BUMN dan keluarganya tidak termasuk yang 86,4 juta itu. Keikutsertaan BUMN bisa menambah kualitas layanan untuk yang 86,4 juta orang itu.

Siapakah 86,4 juta orang itu? Mereka adalah rakyat miskin dan hampir miskin. Mulai 1 Januari 2014, kesehatan mereka ditanggung pemerintah. Melalui layanan Askes yang berganti nama BPJS Kesehatan.

Baru kali ini terjadi dalam sejarah Republik Indonesia pengobatan untuk seluruh orang miskin dan hampir miskin ditanggung oleh pemerintah.

Tentu layanan yang bisa diberikan kepada 86,4 juta orang miskin itu belum akan memuaskan. Tiap orang baru mendapatkan jatah Rp 19.000 per bulan. Rata-rata. Artinya, kalau banyak yang tidak sakit, jatah untuk yang sakit bisa lebih besar daripada itu.

Meski belum memuaskan, tapi sejarah sudah dimulai. Meningkatkannya akan jauh lebih mudah daripada memulainya. Ini bukan hanya soal uang. Tapi juga komitmen. Di dalamnya menyangkut pembangunan sistem. Termasuk membangun kapasitas pengelolaannya.

Sesuai dengan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, BPJS Kesehatan tidak di bawah BUMN. Mulai 1 Januari nanti, PT Askes (Persero) menjelma jadi BPJS Kesehatan dan bukan lagi BUMN.

Kita akan punya pengalaman baru. Sebuah lembaga layanan masyarakat tidak berbentuk perusahaan. BPJS tidak boleh mencari laba. Dana operasional BPJS Kesehatan dijatah dari persentase dana kesehatan yang diperoleh dari APBN. Juga tidak boleh punya anak perusahaan. Karena itu, anak perusahaan PT Askes, PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia, akan diakuisisi BUMN lain sebelum akhir tahun ini.

Banyak yang mengkhawatirkan sistem pengelolaan yang seperti itu tidak akan merangsang manajemen BPJS untuk maju. Tidak ada sistem insentif yang memadai. Tapi biarlah semua berjalan dulu. Kalau BUMN mempersoalkan itu, nanti terkesan tidak rela melepaskannya.

Mengapa keikutsertaan BUMN disebut gotong royong? Sebab, keikutsertaan BUMN akan memperkuat BPJS. Si kuat membantu yang lemah. Si muda membantu yang tua. Si sehat membantu yang sakit.

Dirut PT Askes Dr dr Fachmi Idris berhasil meyakinkan itu. BUMN akan membayar ke BPJS Rp 50.000 per bulan per orang. Karyawannya muda-muda sehingga diasumsikan masih jarang sakit. Pendidikannya juga lebih tinggi. Kesadaran hidup sehatnya lebih tinggi.

Dirut Askes harus mencari sebanyak-banyaknya peserta yang seperti BUMN itu. Agar semakin banyak yang ikut gotong royong. Dengan demikian, rakyat miskin yang jatahnya Rp 19.000 itu bisa mendapatkan layanan lebih daripada itu.

Yang juga sangat penting adalah disiplin pada sistem rujukan. Jangan semua orang sakit langsung masuk RS. Rumah sakit haruslah hanya tempat rujukan dari puskesmas.

Dengan BPJS Kesehatan ini, pengentasan kemiskinan bisa lebih berhasil. Selama ini banyak orang yang berhasil diangkat dari kemiskinan. Namun, mereka langsung kembali miskin manakala salah seorang anggota keluarganya sakit.

Selamat berpisah PT Askes (Persero). Selamat datang BPJS Kesehatan. Sebanyak 86,4 juta rakyat miskin menanti pelayananmu! (*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Dua Tahun dengan Banyak Kejadian

Dua Tahun dengan Banyak Kejadian
Senin, 28 Oktober 2013
Manufacturing Hope 100

Minggu lalu bersejarah bagi saya: genap dua tahun menjadi Menteri BUMN. Minggu ini juga bersejarah bagi saya: menerima PT Inalum sebagai BUMN baru hasil penyerahan dari Jepang ke pangkuan Indonesia.

Selama dua tahun menjadi menteri saya merasa baik-baik saja. Tidak gembira, tapi juga tidak susah. Biasa-biasa saja. Dua kali saya masuk rumah sakit. Dua-duanya karena sakit perut. Kesukaan saya makan karedok dan ketoprak kadang memang berlebihan.

Selama dua tahun itu pula saya hampir tidak absen berolahraga: senam joget di Monas. Nyaris setiap hari: pukul 05.00 hingga 06.30. Kalau pagi-pagi hujan, senamnya pindah ke teras Kementerian BUMN yang di dekat Monas itu.

Meski hanya joget, mengurus senam ini ternyata seperti mengurus perusahaan juga: perlu fokus. Awal-awal bergabung ke kelompok senam-dansa ini saya hampir putus asa. Mereka (mayoritas ibu-ibu lebih setengah baya) sudah menguasai gerakan kira-kira 100 lagu. Mereka juga sudah lebih dari 30 tahun berkelompok di situ.

Belajar geraknya sulit. Setiap hari lagunya berbeda: Latin, Mandarin, dangdut, jaipongan, Korea, dan rock. Belum berhasil menirukan gerakan satu lagu, mereka sudah berganti gaya. Huh! Kelihatan banget bodohnya. Apalagi, umur sudah 62 tahun!

Tapi, saya tidak boleh menyerah. Saya ikuti terus gerak mereka. Kini saya sudah bisa kira-kira 40 gerakan dari berbagai lagu itu. Kemampuan terbaru saya gerakan lagu dangdut: di-reject, di-reject saja! Kini saya sedang belajar keras yang lebih baru: goyang Cesar!

Beruntung. Dalam proses belajar ini saya sempat didampingi langsung oleh Cesar yang asli. Yakni, saat sama-sama manggung di Sukabumi pekan lalu.

Saya sungguh merasakan manfaat olahraga ini. Sehat, berkeringat, dan gembira. Juga dekat dengan kantor. Saya hampir selalu mandi pagi di kantor.

Pernah, di awal-awal menjadi menteri dulu, saya mencoba berolahraga jalan kaki. Baru beberapa hari mencoba, datanglah musim hujan. Berarti harus mencari olahraga di dalam gedung. Tapi apa? Maka, saya putuskan untuk berolahraga dengan cara menaiki tangga darurat gedung bertingkat. Misalnya, gedung Kementerian BUMN yang 24 tingkat itu.

Baru beberapa hari naik-turun tangga, bosan juga. Tiap pagi melihat tangga darurat yang sama. Lalu saya naiki tangga darurat gedung Pertamina yang 26 lantai itu. Lalu gedung BTN di Jalan Gajah Mada. Tiap hari saya cari gedung baru: Bank Mandiri di Jalan Gatot Subroto yang 36 lantai. Bank Rakyat Indonesia di Jalan Sudirman. Terus mencari gedung BUMN yang lebih tinggi.

Terakhir gedung Bank BNI itu. Mentok. Tidak ada lagi gedung lebih tinggi milik BUMN.

Kehabisan cara berolahraga yang praktis, saya jalan-jalan muter Monas. Saya lihat kok ada sekelompok orang menari-nari di dekat patung Ikada. Saya ingat suasana di Tiongkok: banyak orang senam di taman-taman kota. Di kelompok inilah saya (dan istri) terdampar. Sampai hari ini. Waktu itu pesertanya sekitar 40 orang. Sekarang sudah 120 orang.

Selama dua tahun menjadi menteri saya juga “terperosok” ke dunia Twitter. Ini gara-gara Najwa Sihab, anchor terkemuka Metro TV itu. Dialah yang merayu saya untuk memasuki dunia Twitter. Dia juga membuatkan account-nya.

Sayangnya, dua bulan terakhir ini saya tidak aktif. Awalnya gara-gara HP saya rusak. Lama-lama merasa enak juga sesekali libur panjang dari Twitter. Bisa mengistirahatkan batin. Agar tidak ketularan penyakit pesimistis, sinis, dan negative thinking yang belakangan mewabah di Twitter. Kini saya lagi menunggu kangen untuk Twitter-an lagi.

Dua tahun menjadi menteri rasanya sudah sangat lama. Bayangkan kalau harus lima tahun.

Minggu ini, tepatnya lima hari lagi, saya menyaksikan hal baru: kembalinya PT Inalum ke pangkuan ibu pertiwi. Baru kali ini terjadi, kontrak kerja sama jangka panjang dengan perusahaan asing tidak diperpanjang. Baru oleh pemerintahan sekarang ini hal itu terjadi. Jepang memang ngotot minta perpanjangan. Tapi, pemerintah tegas: tidak bisa.

Kita menaruh hormat kepada Jepang. Dan, kita harus memuji sikap Jepang ini. Kita juga harus salut pada tim pemerintah yang dibentuk Presiden SBY untuk menegosiasikan proses penyerahan PT Inalum ke bangsa sendiri. Tim itu diketuai Menteri Perindustrian M.S. Hidayat. Menkeu dan Menteri BUMN sebagai anggota.

Yang jelas, Jepang tetap menjadi sahabat terbaik Indonesia. Masih banyak kerja sama lain sedang dan akan berlangsung.

Hari ini pun saya meninjau proyek kerja sama Jepang-Indonesia di Kalbar. Yakni, pembangunan pabrik chemical alumina yang sangat besar di Kabupaten Sanggau. Yakni, antara BUMN PT Antam Tbk (80%) dan Swadenko Jepang (20%).

Kita juga lagi siap-siap membangun pabrik smelter grade alumina yang besar. Juga di Kalbar. Jepang tertarik untuk ikut. Kita lagi pilih-pilih partner terbaik. “Peminatnya banyak,” ujar Dirut Antam Tato Miraza. Misalnya, Mitsui dari Jepang, tiga perusahaan dari Tiongkok, dan satu perusahaan aluminium dari Dubai.

Perusahaan Norwegia juga berminat. Dan, yang paling ngotot dari Rusia. Saya serahkan kepada direksi PT Antam untuk memilih yang terbaik bagi negara.

Kita doakan penyerahan PT Inalum ke Indonesia itu berjalan lancar. Komisi VI DPR sudah sangat mendukung dan memberikan persetujuannya. Tinggal persetujuan Komisi XI DPR yang masih dalam proses.

Penyerahan PT Inalum ke pangkuan Indonesia itu sebaiknya kita syukuri. (*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Debaran-Debaran Jantung di Sekitar Inalum

Debaran-Debaran Jantung di Sekitar Inalum
Senin, 04 November 2013
Manufacturing Hope 101

Ada dua debaran jantung pada hari-hari menjelang tanggal 31 Oktober 2013. Pertama ketika sidang Komisi XI DPR tidak kuorum pada 24 Oktober. Akibatnya, hari itu tidak bisa diambil putusan untuk menyetujui pelaksanaan pengambilalihan PT Inalum yang tinggal tujuh hari lagi. Padahal, DPR sudah mau reses.

Untungnya, pada 30 Oktober 2013 sidang diadakan lagi dan putusan pun diambil: DPR setuju. Besoknya adalah hari terakhir kepemilikan Jepang di Inalum. Besoknya DPR memasuki masa reses.

Debaran jantung kedua adalah perubahan sikap pihak Jepang. Tanggal 30 Oktober itu tiba-tiba ada surat masuk yang isinya mengejutkan: penyerahan PT Inalum tidak jadi berdasar penyerahan saham, tapi penyerahan aset.

Bagi kita sebenarnya sama saja. Inalum punya dua aset yang utama: pembangkit listrik Sigura-gura (Asahan II) di hulu Sungai Asahan dan pabrik aluminium di hilir Sungai Asahan. Asal dua aset tersebut diserahkan ke Indonesia, tidak ada bedanya dengan penyerahan saham. Hanya, perubahan mendadak menjadi penyerahan aset itu memang lebih sesuai dengan bunyi perjanjian pokok (master agreement). Bahwa selama ini perundingannya berdasar pada penyerahan saham itu atas usul pihak Jepang juga.

Hanya, dengan perubahan mendadak itu, kita bisa membaca arah berikutnya. Pihak Jepang akan menempuh jalur arbitrase.

Bagaimana kalau itu terjadi? Tidak apa-apa. Dalam bisnis hal seperti itu normal. Toh tidak memengaruhi penyerahan aset Inalum kepada Indonesia. Sejak 1 November lalu operasi Inalum sepenuhnya dipegang Indonesia. Direktur Utama Inalum dan direktur lainnya dari Nippon Asahan Aluminium (NAA) sudah tidak berkantor lagi. Sudah meninggalkan Indonesia dengan baik-baik. Arbitrase itu hanya untuk menentukan nilai berapa dolar kita harus membayar penggantian aset tersebut.

Untuk menentukan angkanya, memang ada perbedaan cara memutuskan. Jepang lebih mudah untuk minta angka yang tinggi. Sebaliknya, kita tidak bisa memenuhi begitu saja angka yang disodorkan pihak Jepang itu. Bukan saja kita ingin angka yang lebih murah, tapi juga karena pihak kita adalah negara. Tidak bisa fleksibel. Tidak seperti swasta.

Di swasta ada mekanisme pengambilan keputusan yang disebut commercial decision. Dengan mekanisme itu, pengambil keputusan bisa menawar angka tertentu begitu saja. Dan kalau tawaran tersebut belum bisa diterima, pengambil keputusan bisa menaikkannya sedikit-sedikit.

Kita tidak bisa begitu. Penawaran kita harus berdasar hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Begitu BPKP menyebut angka tertentu, kita tidak bisa keluar dari itu. Bisa saja, seandainya kita naikkan sedikit tawaran itu akan diterima. Namun, kita bisa dianggap melanggar. Tidak ada mekanisme commercial decision di sini.

Padahal, kalau pihak Jepang sampai ke arbitrase, bisa jadi kita kalah. Harus membayar jauh lebih tinggi dibanding seandainya kita naikkan tawaran itu.

Tentu kita akan terus berusaha agar tidak harus melalui arbitrase. Juga akan berusaha memenangkan arbitrase itu nanti. Ini tidak ada hubungannya dengan penyerahan aset Inalum ke Indonesia. Semata-mata untuk menentukan angka pembayarannya.

Saya sendiri sudah pernah ke PLTA Sigura-gura dan ke pabrik aluminium di Kuala Tanjung. Yakni waktu saya masih menjabat Dirut PLN. Waktu itu Sumut lagi krisis listrik. Sangat parah. Tidak ada harapan baru. Saya berusaha “ngemis” listrik ke Inalum.

PLTA itu luar biasa besar: 600 megawatt (mw). Turbinnya berada di bawah gunung batu di kedalaman 100 meter dari permukaan tanah. Meski sudah berumur 30 tahun, kondisinya sangat bagus. Terawat dengan baik, khas manajemen Jepang. Inalum akhirnya bisa menyisihkan sedikit listriknya untuk PLN. Sampai sekarang.

Ini beda dengan krisis listrik di Sumut sekarang. Yang masih ada jalan keluar segera. Tidak akan lama. Pagi ini sudah akan ada tambahan listrik 12 mw dari genset di Paya Pasir. Nanti sore ada tambahan baru lagi dari Sibolga 1, sebesar 80 mw.

Minggu depan Paya Pasir tambah lagi dan tambah lagi hingga mencapai 75 mw. Dengan tambahan-tambahan itu, krisis listrik di Sumut segera berakhir. Apalagi, air danau-danau di seluruh Sumatera kini mulai berisi lagi setelah musim hujan tiba. Listrik dari berbagai pembangkit besar bertenaga air akan kembali normal.

Minggu ini, setelah manajemen Inalum kita pegang penuh, kita akan audit berapa sebenarnya keperluan listrik pabrik aluminium itu. Sekaligus untuk memastikan bisakah PLN dapat tambahan sedikit lagi dari Sigura-gura.

Sungai Asahan memang sumber listrik yang luar biasa. Di hulu Sigura-gura itu sudah dibangun PLTA Asahan 1. Di hilir Sigura-gura itulah yang dulu ingin kita bangun pembangkit Asahan 3. Namun, perizinannya waktu itu ampun-ampun sulitnya. Gubernur Sumut yang sekarang sudah mengeluarkan izinnya untuk PLN. Tinggal meneruskan pembangunannya.

Tanpa sumber listrik yang murah dari Sigura-gura, pabrik aluminium Inalum tidak akan bisa bersaing. Pabrik-pabrik lain harus beli listrik dengan harga Rp 1.000 per kWh. Bahkan lebih. Inalum memiliki pembangkit sendiri yang harga listriknya hanya sekitar Rp 300 per kWh.

Karena itu, logikanya, pabrik aluminium Inalum ini akan mampu bersaing di pasar global. Itulah yang membuat PT Inalum ibarat gadis cantik yang jadi rebutan.

Kini setelah sepenuhnya dimiliki Indonesia, tentu tidak ada alasan kinerja Inalum merosot. Alangkah malunya kita kalau itu terjadi. Setelah 30 tahun tenaga-tenaga ahli kita dibina Jepang, rasanya kekhawatiran tersebut tidak perlu terjadi.

Pasar dalam negeri sangat membutuhkannya. Pabrik-pabrik aluminium dalam negeri sudah teken kontrak menjadi pembeli utama. Mereka dari Surabaya, Semarang, Jakarta, dan Sumut sendiri. Pabrik-pabrik itu selama ini impor bahan baku. Sekarang tinggal beli dari Inalum. Dulu mereka mengeluh tidak bisa beli bahan baku dari Inalum karena Inalum harus mengirim produknya ke Jepang.

Setelah ini BUMN membangun pabrik bahan baku aluminium di Mempawah, Kalbar. Dengan demikian, kelak Inalum tidak harus beli bahan baku dari Australia.

Presiden SBY terus mengikuti perkembangan pengambilalihan Inalum ini. Juga terus memberi arahan. Agar pengambilalihan lancar dan tidak gagal. Tepat di hari pengambilalihan 1 November lalu, Menperin Pak M.S. Hidayat dan saya dipanggil ke istana. Pak SBY ingin mendengar sendiri laporan pelaksanaan pengambilalihan itu.

Ini memang bersejarah bagi pemerintahan Pak SBY. Mengakhiri kontrak jangka panjang dan menjadikannya 100 persen perusahaan nasional. (*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Maraton Dua Perusahaan Ikan yang Baru Bangkit

Maraton Dua Perusahaan Ikan yang Baru Bangkit

Senin, 11 November 2013
Manufacturing Hope 102

Satu lagi perusahaan BUMN yang selama ini “tidak hidup dan tidak mati” kini bergairah kembali: Perum Perikanan Indonesia (Perindo). Nasibnya pernah sama dengan PT Perikanan Nusantara (Prinus) yang pingsan bertahun-tahun.

Kini dua-duanya hidup kembali. Kalau PT Prinus bergerak di bidang penangkapan ikan, Perum Perindo menekuni bidang pelabuhan khusus perikanan. Kalau kisah kebangkitan PT Prinus sudah saya uraikan pada Manufacturing Hope 96, giliran hari ini saya mengisahkan kebangkitan Perum Perindo.

Memang dua perusahaan itu seperti tumpang tindih. PT Prinus juga memiliki pelabuhan ikan, Perum Perindo juga mengembangkan ikan. Tapi, biarlah masing-masing hidup dulu, mengembangkan diri dulu, dan kelak entah harus disatukan atau tidak.

Sudah terbukti langkah penyatuan perusahaan tidak selalu betul. PT Prinus sendiri adalah gabungan (hasil merger) dari lima perusahaan perikanan milik negara. Toh tertatih-tatih juga sebelum akhirnya bangkit dan berlari.

Sebetulnya basis Perum Perindo sangat kuat dan strategis. Perusahaan itu menguasai lahan pelabuhan ikan seluas 76 hektare (ha) di Muara Baru, Jakarta. Juga memiliki pelabuhan ikan di lima kota lain seperti Pekalongan, Jawa Tengah; Belawan, Sumatera Utara; dan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Entah bagaimana dulunya perusahaan itu dikelola hingga kian lama kian lemah.

Awal 2013 adalah awal pembenahan Perum Perindo. Direksi baru ditetapkan. Dirutnya masih muda: 37 tahun. Dia seorang doktor perikanan dari Undip Semarang. Dia seorang pekerja keras dan mampu bekerja secara tim. Dia juga bukan seorang yang bossy sehingga rajin turun ke lapangan.

Sebelum diangkat menjadi Dirut, Agus Suherman sudah teruji dalam penilaian integritasnya. Saya perlu satu tahun untuk mengamati caranya bekerja dan mengamati perilakunya sehari-hari di Kementerian BUMN.

Memang tidak mudah bagi Agus untuk membenahi Perum Perindo. Dari lahan 76 ha di Muara Baru itu, sebagian besar sudah disewa-sewakan. Sewanya pun panjang-panjang: 30 tahun. Tarifnya sangat murah.

Yang seperti itu memang lazim di perusahaan pemerintah pada masa lalu. Termasuk di pelabuhan Ambon yang masuk PT Pelindo IV. Untungnya, di Pelindo masa sewanya tidak lama. Tahun ini berakhir. Tahun depan lahan pelabuhan Ambon akan dikelola sendiri oleh BUMN tersebut.

Di Perum Perindo, dampak sewa yang sangat murah itu juga membuat penyewanya tidak bersemangat. Banyak lahan dibiarkan telantar di situ. Toh bayar sewanya hanya Rp 10 juta per hektare per tahun.

Agus mulai menertibkannya. Tidak sia-sia Pak Mustafa Abubakar dulu menarik Agus dari Semarang ke Jakarta dan menjadi pejabat eselon III di Kementerian BUMN. Dia berani bertindak. Dia peringatkan para penyewa yang lalai itu: kalau tidak dibangun akan diambil perusahaan untuk dikelola sendiri.

Berkat peringatan itu, kini banyak perubahan. Waktu saya meninjau Perum Perindo Kamis lalu (sambil rapim BUMN di situ) terlihat kegiatan pembangunan pabrik di berbagai lokasi.

Saya memimpikan Muara Baru bisa menjadi pelabuhan perikanan yang modern, tertata rapi, dan menjadi kebanggaan bangsa. Pabrik es besar di situ yang semula sudah kembang kempis kini bekerja penuh. Galangan kapal ikan yang hanya dua buah sudah dibenahi.

Dulu kapal ikan yang rusak harus antre panjang untuk diperbaiki. Antreannya bisa sampai 200 kapal. Kini memang masih antre, tapi tingggal 80 kapal.

Untuk itu, Perum Perindo akan menambah dua galangan lagi. Enam bulan ke depan harus sudah jadi. Agar jumlah kapal ikan yang antre berkisar 20. Dengan cepatnya perbaikan kapal-kapal ikan yang rusak, otomatis produksi ikan akan meningkat.

Agus juga berencana membenahi bagian-bagian pelabuhan yang kumuh. Termasuk menetapkan model sewa yang baik. Beberapa pabrik ikan di situ tidak bisa dibangkitkan karena dalam status sitaan bank. Rupanya, karena jangka sewa yang panjang itu, banyak juga aset di situ yang diagunkan ke bank. Ketika kreditnya bermasalah, pabriknya disita.

Meski statusnya perum, Agus bisa membawa Perindo menjadi perusahaan yang untung. Ini sekaligus jadi pelajaran bagi BUMN berstatus perum lainnya. Tapi, saya tidak akan menuntut laba yang besar dari Perum Perindo. Tuntutan terbesar adalah memajukan industri perikanan Indonesia.

Saya akan mempertahankan dua perusahaan perikanan BUMN itu untuk berdiri sendiri-sendiri. Tidak akan digabung. Saya akan mempertandingkan keduanya head-to-head. Saya ingin menciptakan persaingan internal BUMN perikanan itu.

Laut Indonesia begitu luasnya. Jangankan dua perusahaan perikanan. Lima perusahaan pun kuat ditampung oleh luasnya wilayah laut Nusantara. Tahun depan adalah tahun dimulainya lomba maraton antara PT Prinus dan Perum Perindo. (*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Mengukur Kerumitan Pangkalan Susu

Mengukur Kerumitan Pangkalan Susu

Senin, 18 November 2013
Manufacturing Hope 103

Sudah pukul 20.30, perjalanan darat dari Medan ke Pangkalan Susu baru dapat setengahnya. Manufacturing Hope ke-103 ini belum ditulis. Redaktur media sudah menunggu. Jam segitu tulisan ini biasanya sudah terkirim.

Tadi malam saya harus ke Pangkalan Susu, tiga jam perjalanan darat dari Medan. Di Pangkalan Susu ini sedang dibangun proyek pembangkit listrik paling besar di Sumatera: PLTU 2×200 MW. Saya harus bermalam di proyek ini. Mengapa?

Seharusnya proyek ini sudah jadi. Dan Sumatera Utara tidak kekurangan listrik. Tapi nyatanya tidak demikian. Bangunan dan mesin-mesinnya sendiri sudah selesai dipasang tapi belum bisa dites. Perlu listrik 6 MW untuk tes satu per satu peralatan yang sudah dipasang itu. Sumber listrik yang ada tidak sampai segitu. Hanya bisa untuk tes bagian-bagian mesin yang kecil.

Maka sebelum tiba di proyek, saya harus menulis naskah ini di dalam mobil. Sambil terguncang-guncang. Kadang kepala agak pusing. Saya harap begitu tiba di lokasi proyek tulisan ini sudah jadi. Begitu tiba di proyek bisa langsung rapat sampai tengah malam.

Nasib kelistrikan Sumut memang tidak sebaik daerah lain. Proyek Asahan 3 (PLTA) dulu terhambat izin Pemprov. Proyek PLTP di Sarulla sempat terhambat perjanjian dengan Jepang. Dan PLTU besar di Pangkalan Susu ini terhambat macam-macam. Termasuk sulitnya mendapat persetujuan untuk mendirikan transmisi.

Padahal sebuah pembangkit listrik membutuhkan transmisi. Kalau tidak, listrik yang dihasilkan tidak bisa dikirim ke kota Medan.

Tanpa transmisi itu PLTU Pangkalan Susu tidak dapat listrik untuk tes dan menjalankannya. Sampai tadi malam masih 17 tiang menuju Medan yang belum bisa didirikan. Belum dapat izin pemilik tanah. Akibatnya PLTU ini tidak bisa segera dites. Padahal tanpa tes alat-alatnya yang sudah dipasang, PLTU itu tidak akan mungkin bisa dicoba untuk dijalankan.

Tadi malam saya ke Pangkalan Susu untu merapatkan semua hambatan itu. Sebuah koran di Medan menulis besar-besar: Dahlan Iskan Ingkar Janji. Saya harus menerima kritik itu dengan hati yang lapang. Saya harus penuhi komitmen untuk membereskan listrik Sumut, meskipun saya ini Menteri BUMN. Saya memang sudah menduga persoalan listrik di Medan amat sulit tapi tidak menyangka kalau serumit ini.

Soal-soal hambatan seperti itu memang umum terjadi di daeran lain, tapi karena listrik adalah kebutuhan bersama maka hambatan biasanya diselesaikan cepat. Pernah Bupati Indramayu waktu itu Irianto MS Syaifuddin (Biasa dipanggil Yance, kini digantikan istri beliau) mempertaruhkan jabatan agar tiang-tiang listrik di daerahnya cepat berdiri.

Saya juga pernah menemui kasus yang sama di Tangerang. PLTU di Teluk Naga hampir jadi tapi transmisinya terhambat. Saya tantang kepala proyeknya: kalau bisa diselesaikan sebelum PLTU jadi akan saya beri hadiah mobil Avanza. Saya tahu tidak ada anggaran untuk itu. Tapi kalau transmisi itu beres, negara menghemat Rp 2 triliun setiap tahun. Akhirnya jadi. Saya belikan dia Avanza dari dana pribadi.

Saya belum tahu apakah saya harus melakukan hal yang sama di Pangkalan Susu ini. Saat menulis ini saya belum rapat. Saya baru akan tahu tingkat kerumitan persoalannya setelah rapat.

Saya juga sudah rapat dengan direksi PT Inalum dua hari lalu. Saya minta inalum menyumbangkan listrik lebih banyak untuk Sumut. Pak Sijabat, Plt Dirut Inalum sudah menyanggupi. Tapi tunggu awal Desember nanti. Setelah perbaikan satu generatornya selesai.

Selama ini Inalum sudah rutin menyumbang PLN Sumut sebanyak 50 MW. Yakni sejak saya menjabat Dirut PLN dulu. Nanti, mulai bulan depan akan bertambah. “Bisa tambah 30 MW lagi,” ujar Sijabat.

Tidak hanya itu, saya akan izinkan Inalum membangun PLTU besar di Kuala Tanjung. Untuk meningkatkan kapasitas pabrik alumunium sekalian menjual listriknya ke PLN Sumut.

Proyek listrik Inalum itu pasti lebih cepat: uang ada, lokasi ada, pelabuhan sudah punya. Tinggal membangun di lokasi yang sudah matang.

Jam 21.00, ketika saya selesai menulis Manufacturing Hope ke-103 ini, saya tiba di lokasi proyek. Tulisan ini harus saya akhiri dulu. Peserta rapat sudah berkumpul. Saya juga sudah minta disediakan kamar darurat untuk tidur di proyek ini.(*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Senyum Tulus Marketing Para Dirut

Senyum Tulus Marketing Para Dirut
Senin, 25 November 2013
Manufacturing Hope 104

“Senyum saya sudah betul, Pak?” tanya seorang direktur utama BUMN kepada saya melalui SMS. Dirut tersebut prestasinya luar biasa hebat. Tapi, senyumnya juga luar biasa pelit.

Setiap kali bertemu sang Dirut saya memang terus mempersoalkan wajahnya yang selalu tegang. Dan kaku. Dan cemberut.

“Anda itu Dirut yang hebat,” kata saya. “Kalau bisa sering tersenyum, Anda akan lebih hebat,” tambah saya.

Beberapa minggu kemudian, ketika sang Dirut belum juga bisa tersenyum, saya berikan pengertian mengapa harus tersenyum. “Anda itu harus menjadi seorang marketer. Bahkan, harus menjadi marketer terbaik di BUMN Anda. Bagaimana seorang marketer wajahnya terlihat tegang terus?” kata saya.

Saya tidak dalam posisi memarahi dia. Saya menempatkan diri bukan sebagai menteri. Saya ajak dia bicara lebih seperti kakak kepada adik. Sebelum bicara itu pun saya lebih dulu bertanya kepada dia: bolehkah saya bicara mengenai hal yang sangat pribadi? Dia bilang: boleh.

Jadilah saya bicarakan hal wajah dan senyum itu kepadanya. Sayang sekali, seorang CEO yang kerja dan prestasinya luar biasa, tapi lebih banyak kelihatan cemberut. Tekanan pekerjaan yang berat dan menumpuk mungkin membuatnya tegang.

Pun waktu yang dia habiskan di lapangan memang panjang. Siang menemukan persoalan, malam menemukan kerumitan. Orang luar selalu menekannya, orang dalam menjengkelkannya.

Mungkin juga bukan karena semua itu. Mungkin juga karena latar belakang pekerjaan lamanya di dunia keuangan. Itu membuatnya “selalu bersikap keuangan”. Banyak kata, orang yang hidup lama di “sikap keuangan” sulit berubah menjadi “bersikap marketing”. Entahlah.

Tapi , saya percaya orang bisa berubah. Yang jelas, seorang CEO akan tidak sempurna ke-CEO-annya kalau tidak bisa tersenyum, tidak bisa mengajar, mendidik, dan tidak bisa jadi orang marketing.

Maka, sang Dirut berjanji untuk berubah. Menyempurnakan prestasinya dengan meramahkan wajahnya.

Suatu saat saya kaget. Dia mengirim BBM kepada saya. Disertai foto wajah yang lagi tersenyum. “Senyum saya yang seperti ini sudah tepat, Pak?” tanyanya.
“Belum!” jawab saya. “Kurang tulus,” tambah saya.
“Wah, sulit ya?” tanyanya lagi.
“Tidak!” jawab saya. “Coba terus!”

Minggu berikutnya dia kirim foto lagi yang juga tersenyum. “Sudah bagus, Pak?” tanyanya.
“Sudah 70 persen! Bagus! Anda maju sekali!” jawab saya. Saya kagum akan kesungguhannya tersenyum.

Minggu-minggu berikutnya dia terus mengirimkan foto wajahnya yang lagi tersenyum. 75 persen. 80 persen. 90 persen. Akhirnya 100 persen! Senyum terakhirnya, enam bulan setelah usaha yang keras, sangat sempurna, natural, dan tulus.

Senyum itu lantas saya pilih untuk cover buku yang diterbitkan untuk ulang tahun perusahaannya. Buku yang sangat bagus mengenai prestasinya yang hebat dalam mentransformasikan BUMN yang dia pimpin. Buku itu kini sudah tiga kali cetak ulang dan jadi best seller. Tentu senyum tulusnya di cover ikut memberi andil.

Itulah buku yang bercerita: bagaimana sang Dirut mampu melakukan transformasi perusahaan yang luar biasa hebatnya. Bahkan, lebih hebat daripada yang dilakukan menteri BUMN.

“Pasien” saya yang seperti itu tidak hanya satu. Tidak dua. Tidak tiga. Banyak! Satu per satu saya ajak bicara. Bukan hanya perusahaannya yang harus bertransformasi, tapi juga penampilan pribadi Dirutnya. Saya gembira mereka yang prestasinya hebat-hebat itu juga berani menyempurnakan dirinya.

Saya juga berterima kasih kepada owner MarkPlus, Pak Hermawan Kartajaya, yang ikut mengubah BUMN-BUMN kita. Terutama dari sisi marketing. BUMN Marketeers Club yang rutin bertemu dari satu BUMN ke BUMN lain, mendapat sambutan antusias dari teman-teman direksi BUMN. Begitu juga BUMN Marketing Award yang juga digagas Pak Hermawan.

Saya sempat menghadiri beberapa pertemuan forum marketing itu. Termasuk untuk menyosialisasikan keinginan saya bahwa seorang CEO/Dirut di BUMN harus juga menjadi orang terbaik untuk urusan marketing di BUMN masing-masing.

Saya juga bangga bahwa setiap kali MarkPlus menyelenggarakan acara tahunan yang amat bergengsi, Marketeer of the Year, para CEO BUMN tampil di jajaran pemenang. Mengalahkan sektor swasta. Bahkan, hampir selalu terpilih menjadi yang terbaik, menjadi Marketeer of The Year. Seperti yang diraih Emirsyah Satar, CEO Garuda; Sofyan Basyir, CEO BRI, dan saya sendiri waktu menjabat CEO PLN.

Tentu bukan hanya senyum yang harus bertransformasi. Cara para CEO berpidato pun harus berubah. Harus menjauhkan kebiasaan lama berpidato dengan membaca teks yang formal, kaku, dan hierarkis.

Untuk urusan ini saya juga melihat kemajuan yang sangat besar. Saya mencatat beberapa CEO sudah mampu tampil dengan pidato yang memikat. Bahkan, beberapa di antaranya sudah seperti CEO multinational corporation.

Pidato Dirut Bank Mandiri, Dirut Telkom, Dirut BRI, Dirut BNI, Dirut RNI, dan Dirut Pelindo I Medan sudah sangat cair, dan “lebih marketing”. Sudah berubah total dan dengan penuh percaya diri bisa mengemukakan kiprah dan masa depan perusahaan dengan gamblang.

Tentu saya tidak akan melarang pidato pakai teks. Dalam beberapa kesempatan malah seharusnya pakai teks. Tapi, saya belum puas dengan penampilan beberapa CEO yang ketika di podium masih seperti kurang menguasai persoalan. Saya akan sabar mengikuti perubahan-perubahan itu.

Mengapa saya merasa perlu untuk menekankan semua itu? Sebab, CEO di samping seorang marketer nomor satu di perusahaannya, dia juga manajer personalia terbaik di korporasinya. Kalau seorang CEO tidak terlatih dalam mengemukakan ide, hope, dan programnya, dia tidak akan bisa meyakinkan anak buahnya.

Siapakah sang CEO yang selalu kirim foto wajahnya yang sudah tersenyum itu? Dialah Dirut PT KAI, Ignasius Jonan. (*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Terbakarnya Baterai Mobil Listrik Gendis Warna Merah Putih

Terbakarnya Baterai Mobil Listrik Gendis Warna Merah Putih -  PRESS RELEASE Menteri BUMN :
Terbakarnya Baterai Mobil Listrik Gendis Warna Merah Putih.
GendhisSaya minta persoalan terbakarnya baterai mobil listrik Gendhis warna Merah Putih sabtu malam lalu itu dibuka sejelas-jelasnya agar jadi bahan penelitian seluruh anak bangsa yang ingin bangkit. Ini bagian pembelajaran untuk kesempurnaan sebuah karya besar anak bangsa sendiri untuk mencapai cira-cita kemandirian bangsa. Tidak ada penemuan karya besar yang tidak melewati lika-liku yang dalam. Pesawat pun tidak akan bisa terbang hebat seperti sekarang dengan mulus. Berbagai kesalahan dan kecelakaan terjadi pada tahap-tahap awalnya.
Kebakaran baterai Gendhis warna merah putih itu sebenarnya sangat sepele. Bahkan berangkat dari niat baik seorang petugas kelas bawah yang sangat peduli dan ingin membantu atasannya.
Malam itu empat mobil listrik ada di gudang bengkel di Jogja. Satu mobil listri Selo dan tiga Gendhis (warna hijau, coklat dan merah putih). Tiga mobil itu baru dibawa kembali ke gudang setelah ikut pengujian di UGM. Yang merah putih tidak ikut diuji coba karena masih dalam penyempurnaan. Walikota Jogja minta agar mobil listrik ditampilkan lagi di Jogja. Tidak usah semua. Dua saja: Selo dan Gendhis yang warna hijau.
Dengan niat baik agar mobil siap dipamerkan lagi besoknya, seorang petugas bengkel mengecharge semua mobil listrik. Selo dicharge. Dua Gendhis juga dicharge. Satu Gendhis lagi (warna merah putih) seharusnya tidak perlu dicharge, juga dia charge lagi. Padahal masih sangat penuh, belum pernah dipakai (tidak dibawa ke UGM hari itu).
Tapi petugas tersebut tidak tahu kalau listriknya masih penuh. Dia charge dan dia tidak lihat level isinya. Itulah yang terbakar.
Mobil itu tidak termasuk yang dipamerkan karena memang masih dalam penyempurnaan. Masih akan dipasang satu alat otomatis yang bisa stop sendiri kalau baterainya sudah penuh. Selo dan dua Gendhis lainnya sudah dipasangi alat otomatis itu sehingga tidak terjadi apa-apa.
Petugas tersebut tidak tahu mana yang sudah otomatis dan mana yang belum. Memang bukan bidang dia. Tapi saya tidak akan menyalahkannya. Inisiatif yang bagus dari petugas tersebut tidak boleh dimatikan. Ini saya anggap bagian pahit yang harus dilalui.
Apalagi petugas itu juga sangat bertanggungjawab. Melihat ada asap, dia dorong mobil itu ke luar gudang. Didorong ke lapangan rumput di sebelah gudang. Lalu dia hubungi pemadam kebakaran. Dia hubungi polisi. Atasan-atasan dia tidak ada yang di tempat karena memang sudah jam 9 malam lebih.
Karena lokasi baterai berada di bawah, petugas itu dibantu warga sekitar menggulingkan mobil tersebut. Agar bisa mematikan api di bagian bawah. Seorang warga sempat terisap asap sehingga sesak dadanya tapi tidak sampai fatal.
Akhirnya api berhasil dipadamkan. Interior mobil tidak ikut terkabar. Bodi mobil juga tidak terbakar. Bahkan hanya satu blok baterai yang terbakar. Baterai-baterai di blok lainnya utuh dan tidak rusak.
Satu pelajaran lagi untuk mobil listrik. Kali ini pelajarannya tidak sebesar waktu Tucuxi dulu.

Manajemen dengan Tiga Musuh Baru

Manajemen dengan Tiga Musuh Baru
Senin, 02 Desember 2013
Manufacturing Hope 105

Para direksi BUMN kini menghadapi ujian alam: menghadapi gejolak ekonomi. Terutama ketika dolar mencapai Rp 12.000 seperti yang terjadi sejak pekan lalu. Semangat untuk maju yang sudah dibangun menggebu-gebu, kini harus berhadapan dengan jurang.

Risiko-risiko perusahaan kini menganga di depan mata. Dalam menghadapi situasi seperti ini, semangat saja tidak lagi cukup. Antusias dan integritas saja tidak memadai. Harus ada plus plusnya.

Kini fokus direksi tidak hanya bagaimana maju, tapi juga bagaimana tidak berhenti di tempat, tidak mundur, dan lebih-lebih tidak hancur. Kalau fokus di masa normal adalah bagaimana bisa maju, di masa gejolak ekonomi seperti sekarang ini fokusnya bercabang-cabang: efisiensi, kreatif, inovatif, dan siap-siap memotong kegiatan, memotong anggaran, dan memotong perencanaan.

Tugas direksi BUMN lebih berat daripada direksi perusahaan swasta. BUMN mengemban misi untuk ikut menjadi benteng ketahanan nasional, pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan martabat bangsa. Direksi BUMN tidak boleh hanya memikirkan keselamatan perusahaan, tapi juga keselamatan ekonomi secara keseluruhan.

Lebih-lebih lagi gejolak ekonomi ini terjadi pada tahun politik. Tugas direksi menghindari tekanan politik juga harus dikedepankan.

Saya ingat waktu saya masih menjadi CEO perusahaan swasta. Tiga kali saya mengalami krisis. Tapi, saya berprinsip bahwa kita tidak boleh kalah oleh krisis. Tidak boleh menyerah kepada krisis.

Para direksi BUMN yang ada sekarang umumnya belum pernah memimpin perusahaan di masa krisis. Kecuali yang pernah menjadi direksi pada 2008. Maka, saya minta direksi BUMN segera mendiskusikan kondisi perusahaan masing-masing dalam kaitannya dengan gejolak ekonomi sekarang ini. Saya akan mengikuti dari dekat bagaimana setiap direksi menyikapi gejolak ini.

Saya akan memberikan penghargaan khusus kepada direksi yang secara gemilang berhasil mengemudikan perusahaan masing-masing di jalan yang bergelombang ini. Tidak akan ada lagi pelampung bagi kapal yang terbawa gelombang. Tidak akan ada injeksi modal dari negara dengan alasan krisis.

Musuh pertama untuk bisa selamat adalah ketidakkompakan. Dalam suasana seperti sekarang ini direksi harus merupakan satu tim yang solid. Tidak boleh ada direksi yang melobi sana-sini untuk bisa jadi Dirut, misalnya.

Musuh kedua adalah rakus. Direksi tidak boleh menambah-nambah fasilitas untuk diri sendiri. Kalau bisa, justru mengurangi fasilitas. Pada rapat-rapat direksi tidak perlu makanan. Bukan untuk penghematan (tidak seberapa), tapi untuk menciptakan solidaritas kepada seluruh lapisan di perusahaan. Solidaritas diperlukan untuk membina kekompakan.

Musuh ketiga adalah tidak peduli pada detail. Direksi tidak boleh lagi hanya tahu yang besar-besar. Mereka harus tahu persoalan detail hingga tetek bengeknya. Dengan demikian, titik-titik yang menyimpan dan menyembunyikan bahaya bisa segera diketahui. Lebih baik tahu tetek daripada tiba-tiba terkena bengeknya.

Tentu masih banyak musuh lainnya. Tapi, saya percaya direksi BUMN sudah ahli teori manajemen krisis. Krisis ini bukan tidak bisa dilewati dengan gagah. Percayalah, “mendung tidak akan berada di satu tempat terus-menerus”.

Mungkin, dengan gejolak ini ekonomi hanya akan tumbuh 5,6 persen. Tapi, itu jangan diartikan bahwa kita hanya bisa tumbuh 5,6 persen. Ingat: angka 5,6 persen adalah angka rata-rata. Berarti, ada yang tumbuh di atas itu dan ada yang tumbuh di bawah itu. Pasti ada yang minus dan ada yang plus.

Kalau begitu, tinggal tekad kita: pilih tumbuh yang di bawah itu atau yang di atas itu!

Tentu saya tidak bisa menerima sikap direksi yang memilih angka rata-rata, apalagi yang di bawah rata-rata. Lebih lagi yang harus minus. Di tengah krisis pun kita tetap punya kesempatan untuk tumbuh tinggi. Itu yang akan membedakan mana jagoan dan mana pecundang.

Gejolak ekonomi ini sungguh ujian seleksi yang nyata bagi siapa saja. Siapa yang hebat dan siapa yang ternyata biasa-biasa saja. Dalam keadaan normal sering kita tidak bisa membedakan orang-orang yang hebat-hebat itu dari orang-orang yang biasa-biasa saja.

Kini kita akan bisa melihat siapa yang benar-benar hebat!

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Kekalahan Kebaikan oleh Fitnah

Kekalahan Kebaikan oleh Fitnah
Senin, 09 Desember 2013
Manufacturing Hope 106

Saya punya kebiasaan yang mungkin bisa membahayakan diri saya sendiri, yaitu selalu meneruskan (forward) SMS, BBM atau e-mail kepada direksi-direksi BUMN yang terkait. SMS, BBM atau e-mail itu datang dari mana-mana, baik perorangan atau lembaga.

Banyak sekali SMS, BBM atau e-mail yang saya terima setiap harinya. Ada yang menghujat, ada yang memuji, ada juga yang memberi saran. Misalnya saya baru saja mengemukakan sebuah ide, tidak lama kemudian masuklah berbagai tanggapan, masukan dan kritik atas ide tersebut.

Ide membeli peternakan di Australia, misalnya, termasuk yang banyak mendapat tanggapan. Bahkan banyak juga e-mail yang menawarkan kerjasama. E-mail seperti itu langsung saya forward ke direksi yang terkait. Ada yang saya beri komentar, ada juga yang tidak. Akan diapakan masukan-masukan itu terserah direksi yang bersangkutan.

Demikian juga ketika saya minta Pertamina meningkatkan produksi minyak. Sebagai Menteri BUMN, saya malu kalau produksi minyak Pertamina tidak bisa meningkat. Bukan hanya malu. Tapi juga prihatin. Impor minyak kita terlalu besar.

Salah satu yang saya dorong adalah ditingkatkannya produksi minyak dari sumur-sumur tua milik Pertamina. Lantas masuklah ide dari berbagai kalangan. Semua saya forward ke direksi Pertamina, atau saya print untuk diserahlan ke direksi Pertamina.
Selanjutnya sepenuhnya terserah direksi. Apakah masukan itu akan diperhatikan, ditanggapi atau diabaikan.
Direksi bumn memiliki aturannya sendiri. Rupanya dalam hal ini ada yang ditanggapi oleh direksi Pertamina.
Lalu Pertamina melakukan proses tertentu yang sesuai dengan prosedur mereka. Yang seperti ini bisa membahayakan saya. Bisa saja pesan forward dari saya tadi dianggap memo atau rekomendasi atau disposisi yang dianggap bagian dari KKN.
Saya sendiri tidak akan pernah merasa begitu. Saya percaya direksi Pertamina memiliki aturan dan disiplin sendiri unruk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Usaha meningkatkan produksi sumur tua itu mulai memberi hasil. Sudah ada sumur tua yang dulunya hanya menghasilkan minyak 80 barel perhari sudah bisa menjadi 400 barel perhari. Padahal Pertamina memiliki sekitar 5.000 sumur tua. Tentu tidak semua bisa direvitalisasi. Tapi kalau bisa separonya saja, sangat berarti bagi negara yang masih besar impor minyaknya.

Apakah dengan sorotan dari majalah TEMPO terbaru itu saya akan menghentikan kebiasaan meneruskan e-mail, SMS dan BBM dari masyarakat ke para direksi BUMN? Sama sekali tidak! Saya tidak takut sama sekali. Kebiasaan itu tetap akan saya teruskan, dengan segala resikonya. Semua SMS, BBM dan e-mail dari siapa pun tetap akan saya kirim (forward) ke direksi terkait.

Mungkin memang ada di antara masukan itu yang kemudian diperhatikan direksi dan lantas menjadi bisnis. Saya tidak keberatan. Asal diproses dengan benar. Apakah yang di Pertamina itu sudah di proses dengan benar? Salah satu e-mail itu memang datang dari orang yang sudah saya kenal baik. Isinya sebuah ide jitu untuk merevitalisasi sumur tua. Rupanya ide itu dipakai oleh Pertamina.

Ketika selentingan “Disposisi Dahlan” itu mulai dipersoalkan sebagian serikat pekerja, saya perlu menelepon direksi Pertamina. Saya tanyakan: “Apakah sudah diproses secara benar?” Jawabnya tegas: “SUDAH”. “Apakah itu karena disposisi saya?” Jawabnya tegas: “TIDAK”.

Masukan itu, untuk bisa sampai diterapkan di lapangan, ternyata sudah diuji dengan benar. Bahkan kasus keberhasilan merevitalisasi sumur tua itu jadi bahasan utama dalam konferensi insinyur perminyakan se-Dunia di Dubai tahun ini.

Tentu menarik juga kalau dalam proses itu ditemukan kasus korupsinya.
Bongkar saja! Siapa menerima apa. Tunai maupun fasilitas.
Bongkar!!! Kenapa tidak?!
Tapi kalau ternyata tidak ada korupsinya, tidak ada aliran uangnya, tidak ada gratifikasinya, pemanfaatkan teknologi untuk merevitalisasi sumur tua itu harus dipuji!

Kita memang sulit melakukan terobosan di negeri ini. Tapi tidak boleh niat baik kalah oleh fitnah.

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Kecelakaan dengan Emosi Diaduk

Kecelakaan dengan Emosi Diaduk

Senin, 16 Desember 2013

Manufacturing Hope 107

Menarik sekali kesaksian seorang ibu ini: dia melihat masinis masuk ke gerbong paling depan untuk memberi tahu bahwa kereta segera menabrak mobil tangki, dan karena itu penumpang diminta segera pindah ke gerbong di belakangnya. Ruang masinis memang menjadi satu dengan gerbong paling depan yang dikhususkan untuk penumpang wanita.

Setelah memberi tahu adanya bahaya itu, sang masinis bergegas kembali ke ruang kemudi. Sesaat kemudian terjadilah musibah itu. Sang masinis sendiri meninggal dunia, bersama dua rekan kerjanya di ruang itu.

Mungkin yang memberitahukan bahaya tadi bukan masinis, tapi asisten masinis. Penumpang tentu tidak bisa membedakan mana masinis dan mana asistennya. Itu tidak penting. Yang penting kita catat adalah jiwa pengorbanannya itu. Dia begitu memikirkan keselamatan penumpang melebihi keselamatannya sendiri. Dia meninggal hanya sesaat setelah berusaha menyelamatkan para penumpang.

Sang masinis tidak kalah patriotik. Bisa jadi dialah yang memerintahkan asistennya untuk memberi tahu penumpang. Dia sendiri harus melakukan apa yang harus dia kerjakan: mengerem secara normal dan tidak mengerem secara darurat. Kalau saja sang masinis panik dan melakukan pengereman darurat, bisa saja yang terjadi akan lebih tragis: gerbong-gerbong kereta terguling berantakan. Tindih-menindih. Korban akan lebih banyak.

Saya setuju dengan Dirut KAI Ignasius Jonan bahwa masinis dan asistennya adalah patriot-patriot penyelamat penumpang! Saya memuji kepekaan Jonan yang menangani sang patriot dengan sebaik-baiknya: anggota keluarga terdekat akan diangkat menjadi karyawan KAI, anak-anaknya akan dibiayai sekolahnya sampai lulus perguruan tinggi.

Sejak peristiwa itu saya memang tidak henti-hentinya berkomunikasi dengan Jonan mengenai apa yang harus dilakukan. Dari kesaksian ibu itu satu kesimpulan sementara bisa diambil. Sang masinis, dari jarak yang masih jauh, sudah melihat ada mobil tangki dalam posisi berhenti melintang di atas rel.

Mobil tangki itu tidak bergerak maju. Berarti ada tiga kemungkinan: mogok di tengah rel (rasanya tidak), tidak bisa maju karena ada kendaraan padat di depannya, atau dari arah berlawanan penuh juga dengan kendaraan.

Kita sama-sama memiliki pengalaman serupa. Di saat akan ada kereta lewat, banyak kendaraan mengambil posisi sangat kanan. Dengan harapan, begitu kereta lewat, mereka bisa tancap gas dulu.

Jadi, bisa saja saat mobil tangki akan menyeberangi rel itu palangnya memang belum menutup. Tapi, begitu truk tangki berada di atas rel, terjadilah situasi lalu lintas yang ruwet tersebut.

Jalan yang dilalui mobil tangki itu bukanlah jalan lebar. Dua arah pula. Bisa dibayangkan betapa sulitnya mobil yang mengangkut BBM 24.000 liter itu melakukan manuver di jalan yang begitu sempit, dua arah pula!

Ini juga menyisakan pertanyaan: mengapa mobil tangki segede gajah itu boleh melewati jalan sekecil itu! Apakah memang tidak ada rambu yang melarangnya? Apakah dapat izin khusus?

Tentu semua pertanyaan akan terjawab setelah polisi memperoleh pengakuan dari sopir dan kernetnya. Dua orang itu kini masih dirawat karena luka bakar yang parah. Bahkan, tubuh si kernet terbakar 80 persen karena saat kejadian sepatunya dilepas.

Dengan cerita seperti itu tidak relevan lagi mempersoalkan palang pintu sudah menutup atau belum. Apalagi, seperti kata Jonan, fungsi palang pintu KA tidak untuk mencegak mobil. “Palang pintu itu menurut UU untuk memperlancar perjalanan kereta,” ujar Jonan.

Kalau itu betul, berarti selama ini banyak yang salah sangka. Termasuk saya. Dikira fungsi palang itu untuk mencegah mobil lewat.

Untuk pengendara kendaraan bermotor, penyelamatnya bukan palang pintu, tapi rambu lalu lintas. Menurut aturan, begitu pengendara melihat ada rambu rel kereta di daerah itu, dia harus hati-hati: berhenti, tengok kanan, tengok kiri, baru memutuskan untuk menyeberangi rel.

Ini identik dengan contoh berikut: ketika Anda tidak boleh memasuki satu jalan, di mulut jalan itu tidak perlu dipasangi palang pintu, melainkan cukup rambu ferboden. Seharusnya semua hal itu cukup dengan rambu. Begitulah aturan yang berlaku.

Saya juga minta agar anak perusahaan Pertamina melakukan reedukasi untuk para sopir mobil tangki minyak, gas, dan elpiji. Harus ada latihan khusus, pendidikan khusus, dan tes kejiwaan khusus. Kepatuhan pada rambu lalu lintas harus seperti disiplinnya orang-orang Jepang.

Barang yang mereka angkut sangat sensitif. Bukan roti atau ice cream! Mobil Pertamina harus jadi teladan: begitu ada rambu rel kereta, tidak boleh lagi beralasan palang pintu belum ditutup.

Pertamina sudah akan melakukan itu. Juga sudah melakukan langkah penyantunan yang maksimal: menanggung biaya pengobatan, biaya sekolah anak-anak mereka, dan seterusnya.

Pertamina juga tengah mencari alamat seorang gadis asal Palembang yang menderita luka bakar di kedua tangannya. Gadis ini datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Dia keliling Jakarta untuk mencari lowongan. Karena itu, Pertamina akan mengangkatnya menjadi karyawan. Apalagi, ternyata, gadis itu memiliki kemampuan khusus: menguasai lima bahasa asing.

Saya sangat merasakan guncangan jiwa Jonan sehingga saya memakluminya ketika dia agak emosional. Bayangkan, di saat lagi gencar-gencarnya memperbaiki kinerja KAI, di saat banyak penghargaan yang dia terima, di saat semangatnya lagi membubung setinggi-tingginya, terjadilah kecelakaan itu.

Jonan, begitulah kehidupan ini. Kadang ada orang tiba-tiba terkena stroke justru ketika sedang jaya-jayanya. Kadang orang ditinggal mati calon suami ketika undangan perkawinan sudah diedarkan.

Itulah kehidupan. Kadang seorang yang bertahun-tahun mimpi punya mobil, begitu bisa membeli mobil baru yang diidamkannya dengan cara mencicil, sebuah truk menabraknya dari belakang pada hari pertama dicoba di jalan raya. Ada kalanya orang sudah berbuat baik pun masih akan dicela. Orang jahat pun kadang bisa jadi pahlawan.

Tuhan, alhamdulillah lautku pasang
Tuhan, alhamdulillah lautku surut
Tuhan, alhamdulillah badanku sehat
Tuhan, alhamdulillah badanku meriang
Tuhan, alhamdulillah lautku tenang
Tuhan, alhamdulillah lautku bergelombang
Tuhan, alhamdulillah.

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Lima Sendok Listrik untuk Bintuni dan Sebatik

Lima Sendok Listrik untuk Bintuni dan Sebatik
Senin, 23 Desember 2013
Manufacturing Hope 108

Bintuni minggu ini sudah akan berbeda dengan Bintuni minggu lalu. Berbeda pula dengan Bintuni dua tahun silam, saat saya masih menjabat Dirut PLN. Minggu ini Bintuni adalah Bintuni yang berlistrik.

Bukan lagi Bintuni yang gelap gulita, yang dari kegelapannya itu bisa melihat gemerlap cahaya listrik LNG Tangguh di seberang laut sana.

Waktu itu saya bersafari keliling Papua dan bermalam di beberapa kota seperti Sorong, Manokwari, Kaimana, dan Bintuni. Kota Bintuni terletak di tepi pantai utara Teluk Bintuni. Kota ini gelap gulita karena memang tidak berlistrik. Di sepanjang jalan yang terdengar adalah bunyi bising genset-genset kecil milik masing-masing toko atau rumah.

Padahal kota ini adalah kota terbesar di kawasan Teluk Bintuni. Padahal kawasan ini kaya akan minyak dan gas. Padahal di jarak 70 km dari Bintuni berdiri proyek LNG Tangguh yang gasnya menerangi kota-kota besar di pantai timur Tiongkok.

Dari kota Bintuni malam itu saya bisa melihat begitu terangnya gemerlap lampu di komplek LNG Tangguh. Saya langsung berpikir bahwa ini tidak adil. Saya pun terpikir untuk mengetuk hati Tangguh agar bisa mengalokasikan sedikit gasnya untuk Bintuni.

Lima sendok pun sudah cukup. Begitu istilah saya waktu itu. Untuk menggambarkan tidak berartinya jumlah gas yang diperlukan Bintuni dibanding dengan jumlah gas yang dijadikan LNG di Tangguh.

Kalau saja permintaan “lima sendok gas” itu dikabulkan, saya bermaksud mengalirkannya ke Bintuni melalui pipa kecil bawah laut melintasi Teluk Bintuni. Atau menjadikannya listrik di dekat proyek LNG. Listriknya yang diseberangkan dengan kabel listrik bawah laut. Kebetulan waktu itu PLN lagi menggalakkan pemasangan kabel bawah laut di berbagai pulau.

Begitu kembali ke Jakarta saya langsung menghubungi pimpinan tertinggi LNG Tangguh yang berkantor di Jakarta. Saya kemukakan ide itu. Ternyata langsung disambut dengan baik. Pimpinan LNG Tangguh langsung menyanggupi. Boleh dalam bentuk gas maupun listrik. Toh memang ada sedikit kelebihan listrik di Tangguh.

Kami langsung pilih dalam bentuk listrik saja. Tinggal bangun jaringan kabel bawah laut sejauh 70 km. PLN sudah punya pengalaman membangunnya. Ketika proyek ini akan dilaksanakan saya harus meninggalkan PLN. Tapi direksi PLN yang menggantikan saya meneruskan proyek itu.

Dan minggu ini proyek itu sudah jadi. Listrik sudah bisa mengalir ke Bintuni.

Saya membayangkan alangkah senangnya Pemkab dan rakyat Bintuni. Dari gelap gulita menjadi yang paling terang di kawasan itu. Semoga uji coba kabel yang sudah selesai dipasang ini tidak banyak masalah. Agar listrik sudah bisa mengalir minggu ini.

Agar inilah Natal pertama dengan listrik. Agar inilah Old and New pertama dengan gembira.

Kelak, bayangan saya, jaringan kabel ini bisa diteruskan ke arah Manokwari. Semoga cita-cita ini juga bisa diteruskan oleh direksi PLN sekarang. Dengan demikian kota-kota kecil yang dilewati jaringan dari Bintuni ke Manokwari ini bisa ikut berlistrik.

Kabel bawah laut yang juga dilanjutkan pembangunannya adalah kabel dari Sembakung di daratan Kalimantan Utara menuju Pulau Nunukan dan terus ke Pulau Sebatik. Sebelum tahun baru juga sudah selesai dipasang. Maka tidak perlu lagi genset di Nunukan dan di Sebatik.

Bahkan Pulau Sebatik yang separonya adalah wilayah Malaysia itu tidak perlu lagi minder di mata negara tetangga. Saya minta justru kita harus menawarkan kelebihan listrik di Sebatik nanti untuk melistriki Sebatiknya Malaysia.

Di Sembakung itu memang sudah lama ditemukan sumber gas. Tapi kecil sekali. Hanya 2 mmbtud. Tidak bisa diapa-apakan. Tidak bisa juga dikirim ke mana-mana. Maka ketika ide membawa listrik lewat kabel bawah laut itu saya kemukakan, pemilik gasnya bersuka ria.

Sudah lama perusahaan itu kesulitan menjual gas. Tidak ada yang mau beli. Tidak bisa dimanfaatkan. Terlalu kecil dan terlalu jauh. Padahal biaya untuk menemukan dan menggali gas itu sangat besar. Kini biaya itu bisa diharapkan kembali. Pelan-pelan.

Kabar baik juga datang dari Sumatera Utara. Bukan saja krisis listrik di wilayah itu sudah berakhir, tapi tower-tower listrik menuju pembangkit listrik besar di Pangkalan Susu juga bisa berdiri semua.

Inilah salah satu proyek yang paling sulit untuk mengatasi krisis listrik di Sumut. Begitu sulitnya mendirikan tiang-tiang listrik di sepanjang jalur itu.

Setidaknya ada sembilan tower yang sulit berdiri karena selalu digergaji orang. Ada yang sampai roboh. Ada yang harus dirobohkan karena bahaya.

Saya jadi ingin ke Bintuni. Juga ke Nunukan. Juga ingin melihat sendiri tower-tower yang berhasil berdiri di Pangkalan Susu itu.

Waktu di PLN saya pernah canangkan motto “jangan mau jadi ban belakang”. Nanti cepat gundul. Mengapa ban belakang cepat gundul? Secara bergurau saya mengemukakan, ban belakang itu cepat gundul karena mikir terus bagaimana cara bisa mengejar ban depan!

Intinya PLN harus jadi ban depan! Jangan sampai kesibukan utamanya terus-menerus memikirkan krisis listrik. Jadilah ban depan. Listrik harus terus ditambah. Mengimbangi naiknya permintaan listrik dari masyarakat.

Jangan telat menambah listrik di suatu daerah. Jangan sempat krisis lagi dan krisis lagi. Jangan berhenti menambah listrik. Tiap hari, tiap daerah!

Oleh Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Lega Tidak Impor dan Lega di Godean

Lega Tidak Impor dan Lega di Godean
Senin, 30 Desember 2013
Manufacturing Hope 109

Inilah berita yang paling menggembirakan bagi bangsa Indonesia di akhir 2013 ini: Indonesia berhasil tidak impor beras lagi. Ini karena pengadaan beras oleh Bulog mencapai angka tertinggi dalam sejarah Bulog. Sampai 25 Desember kemarin Bulog berhasil membeli 3,5 juta ton beras petani.

Inilah berita yang paling menggembirakan seluruh petani Desa Godean, Sleman, Jogjakarta: tanaman padi mereka berhasil mencapai masa panen dengan selamat. Tanggal 3 Januari minggu depan mereka mengundang saya untuk ikut panen raya.

Sudah empat tahun lamanya para petani itu hanya bisa menanam padi, tapi tidak pernah bisa memanen. Setiap kali padi yang mereka tanam memasuki masa hamil, serbuan tikus merajalela. Ludes. Tumpes. Ngenes. Petani tidak berdaya melawan tikus.

Rupanya, ada seorang petani Godean yang mendengar bahwa saya lagi gencar-gencarnya melakukan penataan sistem distribusi pupuk. Saya memang keliling desa-desa untuk mengecek apakah sistem baru rayonisasi distribusi pupuk sudah berjalan sampai ke tingkat yang paling bawah. Ke tingkat kios pupuk di desa-desa.

Dengan rayonisasi itu tidak akan ada lagi “perang pupuk” antarlima pabrik pupuk raksasa milik BUMN. “Perang” yang hanya mengakibatkan seringnya terjadi kelangkaan pupuk di satu daerah dan penimbunan pupuk di daerah lain. Saya dukung penuh konsep rayonisasi dari Dirut PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) Ir Arifin Tasrif ini.

Seorang petani Godean, rupanya, tidak tertarik dengan langkah penting yang mendasar itu. “Yang kami perlukan sederhana saja. Bagaimana kami bisa dibantu memberantas hama tikus,” tulis Pak Suroyo, petani itu, dalam SMS-nya kepada saya. Pak Suroyo lantas menceritakan duka nestapa para petani Godean selama empat tahun terakhir.

Segera saja saya ke Godean. Mengecek kebenaran pengaduan itu. Ternyata benar. Saya pun mengajak Arifin dan tim PIHC untuk rapat. Apalagi, PIHC memang sudah memiliki unit baru bernama “brigade hama”. Inilah ujian pertama brigade itu.

Rapat dengan kelompok tani pun dilakukan berkali-kali. Mereka merumuskan kesepakatan metode baru “gropyokan tikus”. Agar efektif. Hampir 13.000 ekor tikus ditangkap: hidup atau mati. Setelah itu petani bersemangat lagi menanam padi. Berhasil. Minggu depan panen. Semoga tidak ada gangguan mendadak apa pun dalam lima hari mendatang ini.

Gabungan antara pupuk yang tepat, produksi yang meningkat, pemberantasan hama yang konsisten, dan pengadaan beras yang all-out benar-benar membukukan prestasi yang nyata. Sudah bertahun-tahun kita diejek di kampus-kampus, di talk show televisi, di warung-warung, dan di mana saja. Mengapa negara agraris Indonesia sampai impor beras.

Kita malu. Kita terhina. Tapi, kita tidak boleh menyerah. Tidak boleh hanya diam.

Tidak bisa hanya ngomel-ngomel. Hanya rapat-rapat. Hanya berwacana. Kita harus berbuat sesuatu. Dan, ternyata bisa. Kita tidak perlu lagi impor beras. Dirut Perum Bulog Sutarto Alimoeso menegaskan, stok beras di gudang Bulog akhir tahun ini lebih dari dua juta ton.

Pak Tarto termasuk sedikit generasi tua di BUMN yang tidak mau kalah dengan generasi lebih muda. Dia masih kuat seperti kitiran: muter terus ke gudang-gudang Bulog di seluruh sentra produksi beras. Dengan sepatu ketsnya, Pak Tarto sering harus bermalam minggu di gudang beras.

Dengan stok beras nasional yang berlebih seperti itu memang ada juga negatifnya: kalau lama tidak disalurkan, kualitas berasnya menurun. Untuk itu saya menerima usul menarik dari seorang petani di sebuah desa di Bantul. Tahun depan sebaiknya sebagian pengadaan beras Bulog berupa gabah sehingga bisa disimpan lebih lama.

Ide yang bagus dan aplikatif dari seorang petani kecil. Tahun depan ide itu benar-benar akan dilaksanakan oleh Bulog. Sekitar 20 persen pengadaan Bulog akan berupa gabah. Ini lebih realistis dan hemat daripada membangun silo-silo vakum yang amat mahal.

Begitu lega rasanya tutup tahun ini ditandai dengan keberhasilan tidak impor beras selama 2013 dan keberhasilan panen di Godean. Tapi, kelegaan itu tidak boleh lama-lama. Tahun 2014 harus bisa bertahan tidak impor beras lagi. Artinya: tetap harus segera kerja, kerja, kerja.

Manufacturing Hope penutup tahun ini saya tulis di dalam pesawat kecil menuju Meulaboh, di tengah hujan lebat selama penerbangan, dan masih hujan dalam pendaratan menjelang malam. Selamat tahun baru!

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Oleh-Oleh dari London untuk Hemat Investasi

Oleh-Oleh dari London untuk Hemat Investasi
Senin, 06 Januari 2014
Manufacturing Hope 110

Semua penumpang pesawat mengeluh: bukan main lamanya antre terbang di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Teman saya harus berada di dalam pesawat lebih satu jam hanya untuk mendapat giliran take off. Saya sendiri mengalami hal yang sama. Terbang ke Lampung hanya 45 menit, tapi antre terbangnya lebih lama dari itu.

Sehari-harinya pun SHIA (Soekarno-Hatta International Airport) sudah padat. Di hari-hari sekitar Natal dan tahun baru lebih parah. Ini karena adanya penerbangan ekstra. Bayangkan, selama sepuluh hari ini, tiap hari ada 12 penerbangan ekstra. Betapa berimpitannya jadwal pesawat.

Ke depan sistem penerbangan ekstra harus diubah. Bukan diadakan penambahan jadwal, tapi perusahaan penerbangan diharuskan menggunakan pesawat yang lebih besar.

Dengan penambahan penerbangan, jadwal pesawat benar-benar kacau balau. Penumpang sangat dirugikan. Demikian juga perusahaan penerbangan. Reputasi Indonesia juga tercoreng. Mumpung Lebaran masih jauh, sistem penerbangan ekstra ini bisa diatur lebih dini.

Dunia penerbangan yang mestinya lebih modern daripada kereta api atau penyeberangan feri justru kalah jauh. Sudah dua tahun ini pengangkutan Lebaran kereta api dan feri sangat memuaskan.

Untuk bandara yang sudah padat, kelihatannya sistem penerbangan ekstra sudah tidak cocok lagi. Lebih baik menggunakan jadwal yang sama, tapi dengan memakai pesawat yang lebih besar. Kalau kita putuskan sekarang, perusahaan penerbangan juga masih punya waktu. Mereka harus menyiapkan diri untuk mengatur pesawat-pesawat besar mengisi jadwal domestik yang gemuk di Hari Lebaran.

Untuk saat ini, jangankan menambah penerbangan, jadwal yang ada pun harus dikurangi. Untuk apa Jakarta-Surabaya harus 42 kali. Lebih baik 35 kali, tapi tepat waktunya lebih terjamin. Demikian juga Jakarta-Medan. Dan yang lain-lain.

Kalau memang jumlah penumpang terlalu banyak, kita dorong perusahaan penerbangan menggunakan pesawat yang lebih besar. Seperti Singapore Airlines, untuk Jakarta-Singapura yang hanya berjarak 1,5 jam menggunakan pesawat besar Boeing 777.

Langkah untuk mengurangi jadwal di SHIA sudah disiapkan: memindahkan sebagian penerbangan ke Bandara Halim Perdanakusuma. Belakangan ini rapat-rapat koordinasi antara TNI-AU sebagai pemilik bandara, Kementerian Perhubungan, Angkasa Pura II, dan Perum Airnav terus dilakukan. Putusan sudah diambil. Setiap hari sekitar 60 penerbangan bisa dipindahkan ke Halim.

Jumat lalu giliran Angkasa Pura II yang melakukan rapat koordinasi dengan perusahaan-perusahaan penerbangan. Untuk mengecek kesiapan mereka. Ternyata, mereka belum siap untuk merealisasikannya Januari ini. Mereka minta pemindahan itu dilakukan akhir Februari.

Kecuali Citilink. Hanya anak perusahaan Garuda Indonesia ini yang siap memindahkan sebagian jadwalnya ke Halim 10 Januari nanti. “Baik juga Citilink memulai dulu sekalian untuk uji coba,” ujar Dirut Angkasa Pura II Tri Sunoko.

Menurut Tri Sunoko, pembenahan ruang tunggu dan fasilitas lainnya sudah selesai. Ruang tunggunya cukup untuk tiga penerbangan setiap jam. Pas dengan izin yang diberikan pihak TNI-AU untuk pemanfaatan Halim yang tidak mengganggu kesibukan TNI-AU di situ. Perusahaan penerbangan di luar Citilink minta waktu sampai akhir Februari karena harus memindahkan sebagian kantor masing-masing ke Halim.

Bagaimana masa depan SHIA sendiri? Selama ini berkembang pemikiran untuk membangun landasan nomor 3. Tapi, kendalanya luar biasa. Terutama karena harus membebaskan tanah 800 hektare. Tanah itu sekarang sudah berupa kampung. Lokasi itu meliputi 13 desa di tiga kecamatan.

Bisakah membebaskannya dengan cepat? Dari pengalaman selama ini, saya realistis saja: sulit. Dan lama. Dan mahal. Bisa-bisa lima tahun ke depan pun belum terbebaskan semua. Itu pun memerlukan dana pembelian tanah yang mencapai Rp 12 triliun. Total biaya bisa mencapai Rp 40 triliun.

Maka, saya memuji langkah Tri Sunoko mengirim staf inti belajar manajemen ke bandara besar. Mereka pergi ke London. Belajar di Bandara Heathrow. Itulah bandara nomor tiga tersibuk di dunia. SHIA sendiri tersibuk nomor sepuluh di dunia.

Bandara Heathrow ini ternyata juga hanya memiliki dua landasan. Sama dengan SHIA. Tapi bisa menampung kesibukan 74 juta penumpang per tahun. Lebih banyak daripada SHIA yang menuju 60 juta penumpang. Hasil belajar ke London ini sangat baik: dengan hanya dua landasan, Bandara Heathrow ternyata bisa melayani seratus pergerakan pesawat setiap jam.

Kita di SHIA dengan dua landasan baru bisa melayani 60 pergerakan setiap jam. Bahkan dua tahun lalu hanya bisa melayani 54 pergerakan. Dua tahun terakhir ini, dengan perbaikan-perbaikan manajemen dan sistem, bisa meningkat enam pergerakan.

Belajar dari London tersebut, kita juga akan bisa mencapai 74 pergerakan Juni tahun depan. Dengan investasi sekitar Rp 2 triliun di Angkasa Pura II dan Rp 1 triliun di Perum Airnav. Ini akan lebih rasional daripada membangun landasan nomor 3 yang memerlukan dana di atas Rp 30 triliun, itu pun kalau bisa melakukan pembebasan lahan.

Cara mirip ini juga pernah dilakukan R.J. Lino, Dirut Pelindo II, di Pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Waktu itu, dua tahun lalu, Teluk Bayur tidak mampu lagi melayani kapal yang datang. Kapal harus antre tiga minggu untuk bisa merapat. Semua pihak melihat harus ada pembangunan pelabuhan baru. Investasinya Rp 5 triliun. Pemda sudah sanggup ikut membantu dana.

Tapi, Lino memilih melakukan perbaikan manajemen dan modernisasi peralatan pelabuhan. Biayanya hanya Rp 0,8 triliun. Hasilnya ibarat bumi dan langit. Kini kapal yang datang ke Teluk Bayur tidak perlu lagi ngantre!

Pola inilah yang sebaiknya dilakukan di SHIA. Dengan mempercanggih manajemen dan peralatan, bisa menghemat uang puluhan triliun.(*)

Dahlan Iskan
Menteri BUMN

Energi untuk Negeri

Energi untuk Negeri
Pidato Visi Misi pada sesi temu media di depan panitia konvensi Capres Partai Demokrat tanggal 6 Januari 2014

Dalam kesempatan ini saya memilih mengemukakan satu bidang saja dari puluhan bidang yang sudah saya siapkan. Yakni bidang energi. Sedang bidang-bidang penting lainnya seperti pertanian, industri, infrastruktur, hukum, korupsi, birokrasi, pembangunan daerah, pengentasan kemiskinan, pendidikan dan masih banyak bidang lain akan saya kemukakan pada kesempatan lain.

Energi bagi sebuah negara ibarat bensin untuk sebuah kendaraan bermotor. Tanpa bensin kendaraan tidak akan bisa bergerak dan berlari kencang. Karena itu banyak negara melakukan kebijakan energi yang sangat mendasar, termasuk di dalamnya melakukan pengamanan energi untuk keperluan sampai 100 tahun ke depan. Bahkan banyak negara yang melakukan pembelian minyak mentah hanya untuk disimpan di dalam tanah dan baru akan dipergunakan kelak kalau-kalau situasi darurat. Mereka melakukan pemikiran penyetokan energi melebihi pemikiran penyetokan akan pangan, antara lain karena pangan tidak bisa disimpan dalam waktu yang panjang.

Di masa lalu kita belum mampu melakukan itu. Antara lain karena prioritas kita memang masih pada tahap memenuhi kebutuhan dasar penduduk Indonesia sepeti pangan, sandang dan papan. Di masa lalu kita belum memiliki kemampuan untuk memikirkan dan melakukan langkah lebih jauh.

Tapi dengan kemajuan ekonomi yang secara konsisten terjadi 10 tahun terakhir, sudah saatnya Indonesia melangkah kepada tahapan baru. Kita sudah hampir bisa memenhi kebutuhan “hari ini”. Kita bukan lagi negara yang masih disibukkan untuk mengatasi persoalan-persoalan “hari ini”. Kita sudah tiba pada tahap untuk mengatasi persoalan hari esok.

Di bidang sosial, kepekaan terhadap problem kemiskinan, terhadap penegakan hukum, terhadap pemberantasan korupsi dan hal-hal lainnya, saya merasa beruntung pernah bertahun-tahun menjadi wartawan. Mulai dari jenjang yang paling bawah sebagai reporter pembantu sampai menjadi wartawan tetap dan kemudian menjadi redaktur dan bahkan pemimpin redaksi. Di bidang ekonomi saya merasa beruntung karena pernah terjun menjadi pengusaha sejak dari pengusaha kecil hingga menjadi pengusaha besar. Dengan demikian saya tidak hanya memahami ekonomi dari teori-teori di permukaan tapi juga memahami persoalan ekonomi riel di lapangan.

Tapi di bidang energi saya merasa sangat beruntung pernah dipercaya oleh bapak Presiden SBY untuk menjadi direktur utama perusahaan listrik negara yang bergitu raksasa. Selama dua tahun saya belajar energi secara all out. Bukan hanya kulit-kulitnya tapi sampai ke persoalan yang sangat mendasar dan sangat dalam. Bahkan sampai ke soal praktek-prakteknya di lapangan. Sampai juga ke soal hulu dan hilirnya. Bukan saja yang terkait dengan listrik seperti massa, solar cell sampai ke geothermal, tapi jga sampai ke persoalan pasok gas, BBM dan seterusnya.

Kita praktis menghadapi persoalan besar di semua sektor energi. Semua harus kita atasi dan kita bangun. Kalau tidak, maka kendaraan kita tidak akan jalan. Maka dalam kesempatan konvensi calon presiden Partai Demokrat hari ini, saya akan mengemukakan persoalan-persoalan kita di berbagai sektor energi dan bagaimana pemecahannya:

1. Bahan Bakar Minyak (BBM):
Impor BBM kita bukan saja luar biasa besar, tapi juga sudah mulai mengganggu perekonomian nasional kita. Sudah sampai mengganggu neraca perdagangan yang menjadi salah satu penyebab terjadinya gejolak ekonomi sekarang ini.

Keterlambatan kita membangun kilang minyak telah menimbulkan bencana bagi keuangan negara. Kita tidak berhasil membangun kilang minyak karena kita tidak ingin kehilangan pemasukan uang ke kas negara. Para investor kilang menginginkan insentive berupa pembebasan pajak dan insentive fiskal lainnya. Ini karena bisnis kilang minyak memang merupakan bisnis yang moalnya luar biasa besar tapi dengan keuntungan yang amat tipis.

Untuk membangun satu kilang minyak yang lengkap sebesar 300.000 barel per hari, diperlukan sekitar USD 7 miliar. Dengan nilai kurs sekarang, ini mencapai sekitar Rp 80 triliun. IRR bisnis kilang sudah diketahui secara universal hanya sekitar 9. Dengan margin yang begitu tipis mustahil ada investor yang tertarik tanpa insentive pemerintah.

Memang kalau insentive itu diberikan pemerintah akan kehilangan potensi pemasukan sebesar Rp 14 triliun. Ini asumsi untuk dua kilang dengan ukuran tersebut di atas. Karena itu seolah-olah bisa dimaklumi kalau kita tidak mau memberikan insentive tersebut. Pemasukan Rp 14 triliun sangat besar.

Namun gara-gara kita “eman” atau “sayang” terhadap nilai Rp 14 triliun tersebut, kita terus-menerus gigit jari. Setiap tahun. Menyesal lagi dan menyesal lagi. Kalau saja kilang tersebut sudah beroperasi 4 tahun lalu, maka negara, selama 4 tahun itu bisa menghemat uang Rp 140 triliun! Inginnya menghemat Rp 14 triliun tapi kehilangan Rp 140 triliun. Dan masih akan terus kehilangan seperti itu. Birokrasi memang tidak diajari ilmu dagang, tapi hitungan seperti itu terlalu nyata untuk dibiarkan begitu saja.

Maka kilang itu wajib dibangun dan akan saya bangun!

2. Blok Migas
Pembangunan kilang tersebut memang belum menjadi solusi yang tuntas. Masih ada persoalan hulu: dari mana pasokan minyak mentahnya. Tentu untuk sementara kita masih impor minyak mentah, tapi kerjasama-kerjasama antar negara bisa dilakukan. Seperti yang sudah mulai dirintis oleh Pertamina dengan Iraq dan Aljazair. Sambil kita terus menggali ladang minyak kita sendiri. Tentu harus dengan perbaikan yang nyata dalam prosesnya yang bisa membuat semua investor tertarik untuk menggalakkan pencarian sumber minyak baru. Saya juga akan terus mendorong kemampuan perusahaan dan ahli-ahli dalam negeri untuk membuktikan bahwa anak-anak bangsa mampu mengusahakan dan mengelola sumber-sumber energi, khususnya dalam menangani blok-blok migas yang ada.

3. Gas Hulu dan Hilir
Kita menyadari sepenuhnya bahwa ke depan potensi gas kita lebih besar dari minyak mentah. Karena itu kebijakan untuk gas kita harus disinkronkan dengan pengamanan energi masa depan bangsa. Jangan sampai kita punya gas, tapi infrastruktur gas tidak tersedia. Padahal di lain pihak kita tidak memiliki sumber minyak yang cukup. Maka tidak menyiapkan gas menjadi lumbung energi masa depan adalah ibarat meninggalkan bom waktu yang sangat berbahaya bagi bangsa ini.

Semua hal yang memerlukan BBM harus diproyeksikan untuk bisa beralih ke gas. Bencana BBM sekarang ini harus menjadi pendorong yang sangat kuat untuk memperkuat infrastruktur gas kita. Mulai dari LNG, mini LNG, CNG laut, CNG darat, pipa trans Indonesia termasuk trans Jawa Sumatera, jaringan pipa distribusi ke rumah-rumah dan industri harus menjadi bidang pokok kebijakan energi ke depan. Kita sudah terbelengguoleh BBM selama bertahun-tehun dan kita tidak mau lagi tetap terbelenggu oleh penjajahan BBM. Sudah cukup kita dijajah BBM dan kita harus membebaskan diri penjajahan BBM itu.

4. Listrik
PLN saat ini sudah menjadi perusahaan raksasa yang terlalu besar untk sebuah team manajemen. Sebuah team manajemen memiliki keterbatasan dalam menghandle sebuah organisasi. Organisasi PLN saat ini sudah berada di luar kemampuan sebuah manajemen yang selama ini ada. Terutama karena PLN bukanlah perusahaan yang bisa menjalankan prinsip-prinsip korporasi normal.

Karena itu kalau tidak diadakan perusahan yang mendasar maka tugas melistriki wilayah Indonesia secara keseluruhan tidak akan mungkin bisa dilaksanakan. Listrik hanya akan terus mementingkan wilayah-wilayah yang secara ekonomi sudah maju. Daerah-daerah terisolasi, pulau-pulau kecil dan wilayah-wilayah jauh akan terus tertinggal.

Karena itu saya akan mendirikan “PLN Baru”. Khusus untuk menangani wilayah-wilayah terisolasi. Juga untuk menerima sebagian pelimpahan dari wilayah PLN yang berada di daerah-daerah terisolasi. Saya akan mengembangkan bio masa secara besar-besaran dan tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Mengapa bio masa? Bukan solar cell? Bukan batubara? Bukan yang lain-lain? Ini karena saya akan memadukan program melistriki wilayah-wilayah terisolasi tersebut sekalian dengan program pengentasan kemiskinan. Penduduk kita rangsang untuk menanam tanaman cepat tumbuh untuk dijual ke “PLN Baru”. Itu akan digunakan untuk bahan bakar. Bahan bakarnya tidak perlu didatangkan dari wilayah lain. Listriknya untuk penduduk setempat. Ini program terpadu yang akan berbeda kalau kita membangun solar cell yang serba impor, atau batubara yang memeiliki kelemahan skala ekonominya.

Saya juga akan mempertimbangkan kembali usul yang pernah saya sampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR ketika saya masih menjabat Dirut PLN. Yakni menggratiskan listrik untuk penduduk miskin yang menggunakan listriknya hanya 200 watt.

5. Batubara
Sebagai konsekwensi terhadap kebijakanketahanan energi jangka panjang, maka saya akan mencadangkan sejumlah wilayah batubara kita untuk kepentingan energi dalam negeri. Kita tidak bisa lagi melepaskan batubara sebagai komoditi yang sangat merugikan ketahanan energi daam negeri. Harus ada pencadangan wilayah batu bara untuk kepentingan 100 tahun energi kita terutama energi listrik.

Kita sudah terlalu lama malu mendengar omongan di masyarakat bahwa batubara kita berhasil membuat kota-kota besar di luar negeri terang-benderang tapi di dalam negeri terjadi kegelapan yang kelam.

6. Geothermal
Kita memiliki potensi geothermal 25.000 MW. Tapi setiap tahun kita hanya terus berbicara potensi itu. Sampai hari ini kita baru punya geothermal sekitar 1.500 MW. Begitu kita sia-siakan potensi green energi tersebut.

Terobosan yang mendasar harus dilakukan. Pertamina harus melakukan retsrukturisasi internalnya untuk lebih mencurahkan potensinya untuk mewujudkan cita-cita menjadi produsen green energi geothermal terbesar di dunia.

Aturan-aturan geothermal juga harus diubah.
Tapi yang sangat penting adalah negara harus turun tangan untuk menjadi penentu pemecahannya. Caranya tidak sulit. Negara menyediakan APBN Rp 500 miliar untuk melakukan penggalian pertama geothermal di seluruh Indonesia. Uang itu tidak akan hilang. Setelah pemerintah berhasil melakukan pengeboran, barulah sumur geothermal tersebut dijual kepada investor. BUMN atau swasta. Begitulah terus menerus bergulir.

Dengan modal yang hanya Rp 500 miliar, itu pun uangnya tidak hilang, Indonsia akan menjadi negara terbesar di dunia dalam green energi geothermal. Dan lagi kita bisa menghemat uang negara raturan triliun rupiah karena kita bisa mendapatkan sumber lustrik yang green, murah dan stabil untuk jangka yang panjang.

Itulah tujuh hal penting yang perlu saya sampaikan. tentu masih banyak bidang energi lainnya yang harus saya kerjakan, tapi mengingat waktu penyampaian ini terbatas, akan saya sampaikan dalam kesempatan lain. ***

Dahlan Iskan
Peserta Konvensi Capres Partai Demokrat

 

Artikel :

Artikel :

Artikel :